Bab 10 – Doktrin yang Membakar
“Predestinasi itu kejam.”
Kalimat itu muncul dari layar Zoom, suara seorang bapak muda yang baru bergabung dua minggu lalu. Namanya Pak Jati, dosen filsafat di salah satu universitas swasta Kristen. Rambutnya selalu acak-acakan, tapi argumennya tajam.
Rio tersenyum, lalu menjawab tenang, “Saya juga dulu mikir gitu, Pak. Tapi makin saya pelajari, makin saya sadar... yang kejam itu bukan predestinasi, tapi ide bahwa manusia bisa menyelamatkan diri sendiri tapi gagal karena ‘nggak cukup usaha’.”
Pak Jati terdiam.
Nia menyahut, “Kalau keselamatan ditentukan oleh usaha, siapa yang bisa yakin dia cukup suci? Tapi kalau ditentukan oleh anugerah, kita tahu siapa yang disembah—Allah, bukan manusia.”
Suasana hening sejenak. Lalu muncul suara tawa pelan dari Mbak Rini, ibu dua anak yang dulunya aktivis persekutuan doa. “Duh, saya selama ini pikir iman itu keputusan saya sendiri. Baru sekarang paham kalau iman pun adalah pemberian.”
Rio menambahkan, “Dan itulah yang bikin kita rendah hati. Kita dipilih, bukan karena layak. Tapi justru karena kita nggak layak.”
Tiba-tiba Pak Jati tertawa pendek, geli pada dirinya sendiri. “Wah... doktrin ini membakar semua bangunan yang selama ini saya banggakan.”
“Ya,” jawab Rio. “Karena kita harus dibakar dulu... sebelum bisa dibangun ulang.”
Diskusi malam itu jadi hangat. Beberapa tertohok. Beberapa menangis. Beberapa tertawa pahit. Tapi semuanya... jujur.
Karena tidak ada yang sedang mempertahankan gengsi. Tidak ada yang berusaha kelihatan pintar. Tidak ada yang berlomba jadi paling rohani.
Yang ada cuma anak-anak Allah yang sedang lapar. Dan saat mereka menyantap kebenaran, mereka sadar: ini lebih memuaskan daripada semua roti palsu yang dulu mereka kunyah di ibadah dan KKR.
Setelah Zoom ditutup, Rio dan Nia saling pandang. Mereka tahu... ini bukan sekadar diskusi.
Ini kebangkitan.
Komentar