Bab 1 – Awal dari Semua Ini
Pandemi memang mengubah segalanya.
Bukan cuma protokol, masker, dan cara bersalaman. Tapi juga cara
berpikir. Buat mereka berdua—Rio dan Nia—itu jadi awal dari sesuatu yang tak mereka
duga: perjalanan menyelami kebenaran firman dengan sungguh-sungguh.
Waktu dunia melambat, gereja beralih ke YouTube, dan aktivitas pelayanan
dibatasi, mereka justru mulai punya ruang untuk bertanya. Tentang apa yang
sebenarnya mereka percaya. Tentang kenapa banyak khotbah yang terasa menghibur
tapi kosong. Tentang kenapa Tuhan harus "menunggu" manusia, padahal
Dia Maha Kuasa.
Awalnya cuma iseng. Nonton kelas teologi Budi Asali dari playlist YouTube
yang muncul di beranda. Judulnya "Kedaulatan Allah dalam
Keselamatan". Rio menonton. Nia ikut duduk di samping, sambil lipat
cucian.
Setelah 15 menit, mereka saling pandang.
"Yo," kata Nia lirih, "kok ini beda banget ya... dari yang
biasa kita denger tiap Minggu?"
Rio mengangguk. "Dan... jauh lebih masuk akal. Alkitabnya tuh
bener-bener dijelasin. Nggak dipelintir."
Sejak itu, mereka jadi rutin ikut Bible class Budi Asali. Lalu lanjut ke
kelas Esra Soru yang lebih konfrontatif. Kadang ngebul juga kepala ini. Tapi
anehnya, ada damai. Ada kelegaan. Seolah-olah kabut yang selama ini menyelimuti
iman mereka mulai tersingkap sedikit demi sedikit.
Di kelas itu, mereka diajari untuk tidak asal percaya. Tidak asal
"amin". Tapi menguji segala sesuatu dengan Alkitab. Dan Alkitab itu…
bukan cuma kumpulan ayat emas dan kutipan inspiratif. Tapi kebenaran yang
kokoh. Yang tajam. Yang menusuk hati—tapi juga memerdekakan.
Mereka pelajari tentang Total Depravity—bahwa manusia tidak mampu
menyelamatkan diri, bahkan untuk sekadar memilih Tuhan. Tentang Unconditional
Election—bahwa pemilihan Allah itu murni kasih karunia, bukan hasil
"melihat masa depan." Tentang Limited Atonement, Irresistible Grace,
sampai Perseverance of the Saints.
Dan di tengah semua itu, mereka—anehnya—malah makin dekat.
Makin akrab.
Makin bisa tertawa dan saling menguatkan di tengah kedalaman doktrin yang
mengguncang fondasi lama mereka.
Kadang mereka debat. Serius. Tapi berujung ketawa.
Pernah suatu malam, Rio lagi menjelaskan soal predestinasi dengan penuh
semangat. Rio nyeletuk, “Kalau Tuhan udah tentukan semuanya, berarti Dia juga
tentukan kamu bakal cerewet gini tiap malam ya?”
Dia diam sejenak. Lalu jawab dengan senyum tipis, “Termasuk ditakdirkan
buat sabar hadapi istrimu yang absurd tapi manis ini.”
Dan mereka pun tertawa.
Itu masa-masa indah. Masa di mana mereka merasa Tuhan sedang
menyingkapkan tirai kebenaran, pelan-pelan. Lembut, tapi pasti.
Dan mereka tahu, ini baru permulaan.
Komentar