Bab 4 – WAG Memanas
Seminggu berlalu sejak pesan pertama Rio dikirimkan.
Satu per satu, kalimat kritis mulai muncul di grup WhatsApp jemaat. Tapi bukan dari pendeta. Bukan juga dari majelis.
Dari Rio dan Nia.
Mereka tak pernah berniat membuat keributan. Tapi kebenaran kadang memang terdengar seperti gangguan di telinga yang terlalu lama nyaman.
Hari itu Rio mengirim satu gambar berisi kutipan:
“Manusia mati dalam dosa. Kapan terakhir kali kita mendengar ini dikotbahkan?”
— Budi Asali
Disusul dengan penjelasan singkat dan beberapa ayat pendukung.
Beberapa jemaat menjawab dengan emoji jempol.
Tapi tak lama kemudian, seorang majelis—Pak Adrian—menulis:
“Mungkin tidak semua hal perlu dibahas di WAG jemaat, Pak Rio. Bikin nggak nyaman juga.”
Rio membalas sopan.
“Terima kasih tanggapannya, Pak. Kami hanya berharap kebenaran menjadi topik yang wajar dibicarakan bersama, bukan sesuatu yang dianggap mengganggu. Kalau bukan di komunitas gereja, lalu di mana lagi kita saling menajamkan?”
Sunyi.
Beberapa menit kemudian, satu anggota jemaat, Bu Merry, menulis:
“Saya bingung baca pembahasan ini. Bukankah yang penting kita saling mengasihi?”
Nia sudah bisa tebak arah komentar itu. Maka Nia pun turun tangan. Dengan gaya khasnya.
“Betul, Bu Merry. Tapi kasih sejati itu selalu berjalan beriringan dengan kebenaran. Kalau saya salah jalan dan hampir masuk jurang, lalu Rio bilang ‘nggak enak negur nanti kamu tersinggung’—itu bukan kasih, tapi cuek. Kasih sejati itu menyelamatkan.”
Seketika WAG senyap lagi.
Rio melirik Nia dan tertawa kecil. “Kamu nulisnya kayak pengacara kasih.”
Nia menyengir. “Biasa. Pembelaan tersangka kebenaran.”
Malam itu, grup WAG sepi. Tapi esok harinya, pendeta tiba-tiba kirim voice note panjang: suara berat, kalem, tapi penuh sindiran.
“Ada baiknya kita menjaga etika berjemaat. Jangan jadikan grup sebagai ajang teologi saling menyalahkan. Apakah kita mengasihi gereja, atau hanya merasa paling benar sendiri?”
Rio mendengarkan sampai akhir, lalu pelan-pelan berkata, “Kita dianggap virus.”
Nia duduk di sebelahnya. “Nggak apa-apa. Virus yang menulari kesadaran.”
Dan di situ, mereka berdua sadar:
Pertarungan ini bukan sekadar soal doktrin. Ini soal siapa yang benar-benar peduli pada kebenaran.
Komentar