Bab 8 – Gereja dalam Cermin
Malam itu pulangnya sepi. Jalanan Yogyakarta sudah sepi juga. Tapi di kepala Rio dan Nia, lalu lintas pikiran padat merayap.
“Jadi ini puncaknya,” Nia berkata pelan, sambil selonjoran di sofa. “Dipanggil, diperingatkan, dan mungkin... dikeluarkan secara halus.”
Rio duduk di lantai, bersandar di meja kecil tempat Alkitabnya terbuka. Ia menatap kosong ke arah lampu gantung.
“Kalau gereja itu tubuh Kristus, lalu kenapa ada organ yang dikeluarkan hanya karena bilang ‘ini salah’?”
Nia menatapnya. “Mungkin karena tubuh itu sedang kena autoimun. Sistemnya keliru mengenali musuh.”
Rio menoleh. “Analogi yang... menarik.” Ia nyengir tipis.
Mereka diam sejenak. Lalu Nia bangkit, menuang teh hangat, dan duduk di sebelahnya.
“Aku nggak nyesel,” katanya. “Kalau harus diasingkan demi Firman, itu lebih baik daripada diterima karena kompromi.”
Rio mengangguk. “Aku juga. Tapi... jujur, aku sedih. Bukan karena kehilangan jabatan pelayanan. Tapi karena mereka nggak sadar kalau yang mereka bela bukan kebenaran, tapi kenyamanan.”
Mereka tahu ini bukan hanya soal perbedaan teologi. Ini tentang prioritas. Antara kasih yang memeluk semua orang tanpa batas, dan kasih yang berakar dari kebenaran yang jelas batasnya.
“Aku ingat waktu kita pertama belajar doktrin pemilihan,” kata Nia sambil menatap langit-langit. “Itu bukan bikin kita sombong. Justru bikin kita sadar: kita dipilih bukan karena kita lebih baik, tapi karena anugerah. Dan anugerah itu yang bikin kita nggak tahan melihat pengajaran yang salah terus disebar.”
Rio menjawab, “Dan sekarang... kita seperti cermin yang diletakkan di tengah ruangan. Semua orang melihat pantulan mereka sendiri, dan tidak semua suka.”
Mereka terdiam. Tapi bukan karena kalah. Justru karena damai.
Malam itu mereka tidak menyusun strategi baru. Mereka hanya berdoa.
Bersyukur. Bukan karena semua mudah, tapi karena semuanya jelas.
Mereka tahu panggilan mereka bukan untuk menyenangkan manusia. Tapi untuk setia pada kebenaran. Dan kalau itu berarti berdiri sendiri, maka mereka akan berdiri bersama.
Bersama Firman. Dan bersama satu sama lain.
Komentar