Bab 7 – Undangan yang Tak Ramah
Undangan itu datang lewat WA, dikirim oleh Sekretaris Majelis. Singkat. Formal. Dingin.
“Shalom, Pak Rio dan Bu Nia. Dengan ini kami mengundang Bapak dan Ibu untuk hadir dalam pertemuan klarifikasi bersama Majelis dan Pendeta, hari Kamis pukul 19.00 di ruang pertemuan gereja. Terima kasih. Tuhan memberkati.”
Rio membacanya sambil mengangkat alis. “Klarifikasi? Kita ini tamu dari luar planet, ya?”
Nia hanya tersenyum. “Ya sudah, datang saja. Pakai baju terbaik. Biar kelihatan elegan meskipun dijemput amarah.”
Hari Kamis malam, mereka datang tepat waktu. Ruang pertemuan sudah penuh: semua majelis, sekretaris, bendahara, dan tentu saja—Pendeta. Meja panjang di tengah. Rio dan aku duduk di sisi seberang. Seperti sidang.
Pendeta membuka pertemuan. Suaranya lembut, tapi intonasinya mengandung tekanan.
“Kami mengundang karena merasa perlu meluruskan berbagai hal yang sudah berkembang di grup WA jemaat. Ada banyak keresahan yang timbul karena sikap kritis Bapak dan Ibu yang disampaikan secara terbuka.”
Rio mengangguk. “Baik, silakan disampaikan apa yang menurut Bapak keliru dari isi yang kami sampaikan. Kami siap mendengarkan.”
Seorang majelis menimpali, “Masalahnya bukan pada isi saja, Pak. Tapi caranya. Terlalu frontal. Kami merasa gereja jadi tidak damai.”
Rio tersenyum. “Tapi tidak ada satu pun dari isi yang kami sampaikan yang disanggah dengan ayat. Kalau memang caranya salah, tolong tunjukkan mana yang Alkitabiah: menegur kesalahan secara terbuka, atau diam demi ketenangan palsu?”
Pendeta menghela napas. “Kami khawatir ini mengganggu iman jemaat yang belum dewasa.”
Nia akhirnya angkat bicara.
“Kalau iman jemaat terganggu karena Alkitab dibuka dan dijelaskan, berarti selama ini mereka percaya pada suara manusia, bukan Firman Tuhan. Dan kalau gereja ini sungguh-sungguh peduli pada pertumbuhan rohani, kenapa tidak justru difasilitasi diskusi terbuka?”
Hening. Suasana makin tegang. Rio membuka Alkitab, membaca dari 2 Timotius 4:2:
“Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.”
Ia menutup Alkitab dan menatap mereka semua.
“Kami hanya menjalankan ayat ini. Kami tidak mencari konflik, tapi kami juga tidak bisa berkompromi dengan pengajaran yang tidak sesuai Kitab Suci.”
Beberapa majelis tampak gelisah. Pendeta meneguk air minum.
Salah satu majelis senior akhirnya berkata, “Tapi… kalau kalian terus seperti ini, kami khawatir hubungan kalian dengan gereja akan terganggu.”
Rio menjawab dengan tenang, “Kalau hubungan dengan gereja membuat kami harus menutup mata terhadap kesalahan, mungkin sudah waktunya kami meninjau ulang apa itu ‘gereja’ sebenarnya.”
Nia menggenggam tangannya di bawah meja. Rio menoleh sebentar, senyum kecil. Mereka sudah tahu ke mana arah ini semua. Tapi mereka datang bukan untuk menang—mereka datang untuk bersaksi.
Komentar