Bab 18 – Jalan Sunyi di Tengah Gereja yang Tuli

Hari itu, langit mendung menggantung di atas atap rumah Rio dan Nia, seolah turut menyerapkan atmosfer yang berat dalam dada mereka. Di meja kerja ruang tamu, laptop Rio terbuka dengan file berjudul: “Pengujian Doktrin Gereja Lokal: Evaluasi Teologi Keselamatan dan Tritunggal.” Di sebelahnya, ada dua kopi cetak tebal dalam map bening. Lebih dari 60 halaman analisis mendalam, ayat demi ayat, kutipan dari pengakuan iman Reformed, dan referensi dari buku-buku teologi sistematika.

Mereka telah menyusun ini selama hampir dua bulan, dengan doa dan air mata.

“Ni, sudah siap kirim ke majelis?” tanya Rio sambil melirik jam di dinding.

Nia mengangguk, wajahnya tenang, tapi mata menyiratkan pergumulan yang dalam. “Aku siap. Tapi kamu tahu kan, hasilnya belum tentu sesuai harapan.”

Rio menarik napas dalam-dalam. “Tapi kita bertanggung jawab untuk bersaksi tentang kebenaran. Kalau mereka tetap keras hati, itu urusan mereka dengan Tuhan.”

Makalah itu dikirim secara resmi ke seluruh anggota majelis gereja lokal mereka—gereja yang selama ini mengaku Reformed, Calvinis, dan berdiri di atas Sola Scriptura. Namun, dalam pengajaran mingguan maupun pengakuan tidak tertulis, Rio dan Nia mendapati ada distorsi besar.

Pertama, ajaran tentang keselamatan yang bisa hilang—yang dalam khotbah dan PA jemaat disampaikan seolah-olah keselamatan adalah hasil kerja sama antara kehendak manusia dan pemeliharaan diri. Padahal, doktrin Perseverance of the Saints menegaskan bahwa mereka yang sungguh-sungguh diselamatkan akan dipelihara hingga akhir, bukan karena kuatnya iman manusia, melainkan karena Allah yang setia memelihara.

Kedua, konsep Tritunggal yang diajarkan seringkali menyerempet Sabelianisme—ajaran sesat yang mengatakan Allah hanya satu pribadi yang "bermuka tiga" (kadang sebagai Bapa, kadang sebagai Anak, kadang sebagai Roh Kudus, tapi tidak bersamaan). Dalam diskusi PA, Nia bahkan pernah mencatat bagaimana salah satu penatua menyamakan Bapa dan Yesus sebagai "peran yang dipakai Allah sesuai konteks", bukan pribadi yang berbeda namun esa dalam esensi.

“Kalau gereja dibiarkan terus-menerus mengajarkan hal ini, jemaat bisa tersesat makin jauh, Rio,” ujar Nia waktu itu. “Bukan hanya soal beda pendapat kecil, ini menyangkut inti Injil dan siapa Allah itu.”


Setelah pengiriman makalah, mereka berharap akan ada diskusi terbuka—dialog teologis yang sehat. Tapi bukan itu yang terjadi. Majelis merespons singkat: “Akan dikaji dalam rapat mendatang.”

Namun di balik layar, beberapa majelis mulai menggiring opini bahwa Rio dan Nia sedang “mencari-cari kesalahan” dan “mengganggu kedamaian jemaat.” Grup WhatsApp gereja menjadi lebih senyap ketika Rio menulis kutipan pengakuan iman Westminster tentang Effectual Calling.

Lalu, tanpa pemberitahuan terbuka, kasus ini “dinaikkan” ke tingkat klasis. Rio dan Nia tidak diundang untuk menjelaskan atau membela isi makalah. Sebaliknya, keputusan klasis langsung muncul dalam bentuk berita acara: “Telah diputuskan bahwa tidak ada penyimpangan doktrinal yang signifikan, dan saudara Satrio serta saudari Karunia diimbau untuk menghentikan kritik terhadap pemimpin gereja.”

Rio terdiam membaca surat itu. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena kecewa. “Mereka bahkan nggak membaca isinya, Ni. Bahkan nggak ada satu pun pertanyaan atau diskusi balik.”

Nia menggenggam tangannya. “Mereka lebih takut kehilangan wajah daripada kehilangan kebenaran. Tapi kita nggak sendirian, Yo. Tuhan tahu.”


Malam itu, Rio duduk di depan laptop, membuka file makalahnya lagi. Lalu, ia membuka Alkitab di 2 Timotius 4:3-4:

“Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan telinga mereka. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.”

“Aku tahu sekarang, Ni,” katanya perlahan, “mereka bukan tidak tahu... mereka menolak untuk tahu.”

Nia memeluk Rio dari belakang. “Dan itulah jalan salib. Bukan cuma menyangkal diri, tapi juga ditolak saat bersaksi tentang kebenaran.”

Rio tersenyum tipis. “Kita tidak akan mundur. Bahkan kalau harus berdiri di luar tembok gereja yang lama, asal kita tetap di dalam tubuh Kristus yang sejati.”



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.

Highlight Obrolan: Isu Kesehatan Mental