Bab 15 – Kasih yang Memilih
“Nia, kamu sadar gak,” kata Rio sambil menyeka debu di rak buku mereka, “kebanyakan orang lebih nyaman dengan Allah yang pasif, bukan Allah yang aktif memilih.”
Nia mengangkat wajah dari laptopnya. “Karena mereka pikir itu lebih adil?”
“Padahal itu bukan soal keadilan,” Rio menjawab, “tapi soal siapa yang berinisiatif. Kalau Allah hanya ‘menunggu’ manusia memilih-Nya, itu bukan kasih yang memilih. Itu kasih yang gamang, gak punya kuasa.”
Nia menutup laptopnya, duduk bersila di lantai, bersandar ke kaki Rio. “Tapi kasih Allah itu justru aktif. Dia memilih kita sejak sebelum dunia dijadikan. Itu bukan teori. Itu yang bikin aku menangis waktu pertama kali sadar aku gak layak dipilih.”
Mereka hening beberapa saat. Bunyi kipas angin mengisi jeda.
Rio membuka Alkitabnya ke Ulangan 7:7-8, lalu membacakan:
“Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa manapun juga maka TUHAN terpikat olehmu dan memilih kamu—sebab kamu ini paling kecil dari segala bangsa—melainkan karena TUHAN mengasihi kamu…”
“Lihat, Ni,” Rio menekankan, “bukan karena apa pun yang layak dalam kita. Tapi karena Tuhan mengasihi. Itu kasih yang memilih. Kasih yang memutuskan. Kasih yang bertindak.”
Nia menarik napas pelan. “Itu juga kasih yang gak bisa kita tolak, ya?”
Rio mengangguk. “Dan kasih yang sama itu juga yang bikin kita berani bicara hari ini. Kita bukan pembuat onar. Kita hanya ingin kasih itu dikenal dan dimuliakan.”
Minggu berikutnya, pendeta gereja mereka menyampaikan khotbah tentang ‘Bebas Memilih Tuhan’. Rio dan Nia saling berpandangan sepanjang kotbah. Bukan dengan amarah, tapi dengan beban.
Sepulang ibadah, mereka tidak langsung pulang. Mereka berdiri di pinggir parkiran, di bawah pohon mangga tua, menunggu Pak Daniel, seorang majelis yang masih terbuka berdiskusi. Ia akhirnya keluar dengan langkah ragu.
Rio menyapanya duluan. “Pak Daniel, kalau ada waktu, bolehkah kita bicara tentang isi khotbah tadi?”
Pak Daniel tersenyum lelah. “Mas Rio, Mbak Nia, saya tahu maksud kalian baik. Tapi kadang kebenaran kalau disampaikan terus terang… bikin orang merasa diserang.”
Nia menjawab pelan, “Tapi Pak, bukankah kasih sejati justru berani menegur karena ingin yang dikasihi kembali pada kebenaran?”
Pak Daniel menatap mereka berdua. Ia tahu mereka bukan orang sembarangan. Bukan pembangkang. Tapi pasangan yang rela kehilangan reputasi demi mempertahankan Injil yang murni.
Ia tak berkata apa-apa lagi hari itu. Tapi benih mulai ditanam.
Malamnya, Rio menulis di jurnalnya:
“Tuhan, terima kasih telah memilih kami. Bukan karena kami lebih baik, tapi karena kasih-Mu tak bersyarat. Tolong kami tetap setia, bahkan kalau hanya sedikit yang mau mendengarkan.”
Nia membacanya diam-diam, lalu menambahkan:
“Dan tolong kami tetap mengasihi, walau ditolak. Seperti Engkau mengasihi kami, saat kami masih memberontak.”
Komentar