Bab 3 – Teguran Pertama
Hari itu Senin. Cuaca mendung, hujan rintik-rintik di luar. Rio duduk di meja makan, Alkitab terbuka di sebelah laptopnya, dan secangkir kopi yang sejak tadi tidak disentuh.
Ia sedang menyusun pesan WhatsApp.
Kalimat pertama sudah diketik, lalu dihapus. Diketik ulang. Dihapus lagi.
Nia duduk di sofa, melipat cucian sambil mengamati gerak-geriknya. Rio memang perfeksionis dalam merangkai kata, apalagi kalau menyangkut hal serius seperti ini.
Akhirnya, dia kirimkan padaku:
“Nia, ini udah cukup sopan belum?”
Nia membaca perlahan. Bunyinya begini:
Selamat pagi, Pak Pendeta. Saya dan istri selama beberapa bulan terakhir mendalami doktrin Alkitabiah tentang keselamatan, dan kami bersyukur Tuhan menolong kami melihat banyak hal yang sebelumnya kami anggap biasa. Kami menyimak kotbah kemarin, dan ingin menyampaikan beberapa pertanyaan dan catatan terkait bagian yang menyebutkan bahwa Tuhan menunggu manusia membuka hati terlebih dahulu. Mohon ijin, kami lampirkan beberapa ayat dan penjelasan. Harapan kami adalah dialog terbuka dan saling membangun di dalam kasih dan kebenaran. Terima kasih.
Nia tersenyum. “Kalau lebih sopan dari ini, nanti dikira robot, Yo.”
Rio ikut tersenyum kecil. Lalu tekan kirim.
Pesan dikirim pukul 08.41.
Mereka melanjutkan aktivitas seperti biasa. Tapi detik-detik terasa panjang. Satu jam… dua jam… tiga jam…
Tidak ada balasan.
Hingga sore, baru muncul satu centang biru, tapi tidak ada respons.
Keesokan harinya, Rio kirim lagi. Bukan menagih, hanya menyertakan beberapa referensi tambahan dari kitab Yohanes dan Roma. Dan lagi-lagi, tak ada balasan.
Rabu malam, di grup WA jemaat, pendeta justru mengirim broadcast:
“Mari kita tetap fokus pada kasih, bukan perdebatan doktrin yang membuat jemaat bingung. Tuhan lebih senang kita saling menguatkan daripada saling mengoreksi.”
Rio menatap Nia. Matanya tajam, tapi tenang.
Nia mendekat, menyerahkan teh manis hangat. “Mulai, Yo?”
Rio mengangguk pelan. “Mulai. Tapi bukan perdebatan. Ini perjuangan kasih.”
Mereka tahu sejak itu, jalan di depan tidak akan mudah. Tapi mereka juga tahu:
Kalau kita diam, siapa lagi yang bersuara?
Komentar