Merancang Kepercayaan, Meninggalkan Jejak: Persahabatan di Flamboyan

Kehidupan di rumah sakit sering kali diwarnai oleh ketegangan yang datang dan pergi, terutama bagi mereka yang bekerja di tingkat manajerial. Namun, di balik ketegangan itu, ada satu hubungan yang terus bertumbuh kuat dan stabil: hubungan antara dr. Tamarin, kepala instalasi rawat inap, dan Ns. Yonathan, kepala pelaksana harian instalasi. Kolaborasi mereka penuh dengan dinamika, saling mengisi, dan keteguhan hati. Hubungan itu menjalin benang merah yang menghubungkan mereka di tengah tantangan dan hiruk-pikuk rumah sakit yang tak pernah berhenti.

Di tengah keberhasilan mereka menyelesaikan tantangan renovasi ruang Flamboyan—ruang rawat inap kelas 1—yang berhasil memenuhi kriteria kelas rawat inap standar meski dengan anggaran terbatas, kedekatan mereka tidak hanya terlihat dalam diskusi formal. Ada momen-momen yang lebih sederhana dan lebih intim di luar meja rapat yang memperlihatkan keutuhan hubungan mereka.


Suatu Siang, Setelah Rapat

Setelah rapat selesai, Tamarin dan Yonathan berjalan bersama di koridor rumah sakit menuju ruang makan staf. Tamarin lebih banyak berbicara soal evaluasi renovasi, sementara Yonathan mendengarkan dengan seksama, sesekali memberikan komentar dengan nada santai.

"Tadi, halo pak, saya agak khawatir soal ruang tunggu pasien yang agak sempit. Kalau ruangan itu penuh, rasanya bisa sesak," ujar Tamarin, sambil menatap papan pengumuman yang tertempel di dekat lift.

Yonathan tersenyum. "Njenengan nggak usah terlalu khawatir, dok. Memang tidak ada ruang yang sempurna. Tapi kalau sudah dipakai, kita pasti bisa lihat apakah ada yang perlu diperbaiki lagi. Yang penting kan kita sudah memberikan yang terbaik."

Tamarin mengangguk. "Memang. Kadang saya merasa kalau perawat lebih banyak melihat sisi praktisnya, ya. Tapi saya butuh banget perspektif anda, pak. Tanpa anda, renovasi ini pasti nggak berjalan mulus."

Yonathan tertawa ringan, menepuk punggung Tamarin dengan lembut. "Boleh juga, bos. Tapi kalau njenengan nggak paham soal rincian di lapangan, saya juga nggak bisa mengantisipasi situasi dengan baik. Kolaborasi kita itu yang bikin ini semua bisa jalan."

Mereka berdua berhenti sejenak di depan ruang makan staf. Tamarin mengernyitkan dahi, memikirkan sesuatu. "Pernah nggak, pak, anda merasa... agak lelah dengan semua keputusan yang harus kita buat setiap hari? Kadang saya merasa bingung, keputusan yang kita ambil itu bisa mempengaruhi banyak orang."

Yonathan melihat Tamarin, wajahnya serius, tapi penuh perhatian. "Setiap pemimpin pasti merasa seperti itu, dok. Saya juga sering merasa dilema, tapi kan tugas kita untuk menemukan keseimbangan. Njenengan sudah tahu apa yang harus dilakukan, dan kita punya tim yang bisa diandalkan. Kita bisa berbagi beban itu."

Tamarin tersenyum. "Kadang saya merasa beruntung punya anda di sini. Anda banyak bantu saya, pak."


Hari Berikutnya di Rapat Rutin

Rapat mingguan dimulai seperti biasa. Tamarin duduk di kursi yang sudah biasa dia tempati, sementara Yonathan berdiri di sampingnya, menyimak presentasi dari staf keuangan tentang alokasi anggaran untuk bulan berikutnya. Dalam rapat yang penuh data dan angka, ada interaksi yang ringan antara Tamarin dan Yonathan—sesekali terselip guyonan yang hanya mereka berdua yang bisa mengerti.

Topik beralih ke isu pengelolaan staf dan evaluasi kinerja. Rina, kepala ruang Geriatri, mulai berbicara mengenai masalah yang ia hadapi dalam mengelola tim. Tamarin mendengarkan dengan serius, sementara Yonathan memperhatikan setiap detail yang terlewatkan, mencoba mencari solusi praktis.

"Tapi kita perlu hati-hati dalam memberikan umpan balik. Terlalu keras bisa memicu penolakan, tapi kalau terlalu lembut bisa membuat mereka merasa nggak diperhatikan," ujar Rina.

Yonathan mengangguk. "Betul, Mbak Rina. Semua butuh pendekatan yang tepat. Kalau terlalu cepat memberi arahan, mereka bisa merasa didikte."

Tamarin menatap Yonathan sejenak, kemudian beralih ke Rina. "Ini memang tantangan kita, bagaimana mengelola komunikasi dengan tim. Tapi saya yakin, kita bisa melakukannya lebih baik jika kita bekerja sama lebih erat lagi. Saya percaya kita bisa menemukan cara yang lebih baik untuk mendukung mereka."

Yonathan menatap Tamarin, memberikan senyum penuh makna. "Kami sudah melakukannya, dok. Kita akan terus perbaiki. Kita punya tim yang hebat, dan dengan kerja sama ini, nggak ada yang nggak bisa kita capai."


Awan Mendung di Langit Instalasi

Isu mulai berhembus pelan namun pasti. Dari bisik-bisik di lorong, hingga obrolan setengah berbisik di ruang istirahat staf. Ada yang mengatakan bahwa Ns. Yonathan terlalu sering mengambil keputusan sendiri. Ada juga yang menyebutkan tuduhan tak berdasar soal manipulasi pengadaan barang kecil-kecilan untuk kebutuhan ruangan.

Puncaknya, surat resmi dari serikat pekerja keluar: Yonathan dicabut keanggotaannya. Alasannya klise—"tidak netral dan dianggap terlalu dekat dengan manajemen"—padahal semua tahu, itu manuver politik internal yang mencoba menjatuhkan figur kuat yang punya integritas.

Tamarin tak bisa menyembunyikan emosinya. Saat membaca surat itu di ruang kerjanya, tangannya gemetar. Ia mengangkat telepon dan langsung menelepon direktur.

"Halo pak, saya ingin bicara langsung. Ini bukan hanya soal Ns. Yonathan, ini soal keadilan dan integritas. Saya tidak akan tinggal diam melihat ketidakadilan seperti ini terjadi di instalasi saya."

Namun, jawaban dari direktur hanya datar. Aman. "Saya memahami perasaan anda, dokter, tapi ini urusan organisasi. Kami tidak bisa ikut campur."

Setelah menutup telepon, Tamarin menarik napas panjang. Ia tahu, ini saatnya ia berdiri di depan. Ia mengumpulkan rekan-rekannya, kepala ruang, staf yang selama ini mengenal Yonathan sebagai sosok yang jujur, tegas, dan berani pasang badan untuk tim.

Di sebuah pertemuan informal, Tamarin berdiri dan berbicara dengan suara yang tenang namun tajam, "Saya tahu siapa yang bekerja keras selama ini. Saya tahu siapa yang bisa saya percaya. Dan saya tahu, anda semua juga melihat apa yang saya lihat. Kalau kita biarkan ini, besok bisa jadi giliran siapa saja dari kita yang dikorbankan."

Suasana hening. Lalu satu per satu mengangguk. Ada yang mulai bicara, mengusulkan penulisan petisi internal. Ada yang menawarkan untuk mengklarifikasi langsung ke yayasan.

Dan di tengah semua itu, Yonathan hanya duduk diam. Wajahnya tenang, tapi matanya berkaca-kaca. Ia tak pernah menyangka, justru di saat ia merasa hampir kalah, bos-nya—Tamarin—yang berdiri paling depan.



Nyala yang Tak Padam

Setelah badai isu menerpa, suasana kantor instalasi rawat inap terasa ganjil. Beberapa staf menjadi lebih pendiam, canggung saat bertemu Yonathan. Ada yang dulu dekat, kini seperti menjaga jarak. Tamarin menyadari itu semua, matanya tajam membaca perubahan atmosfer. Tapi ia memilih diam, menanti waktu yang tepat.

Suatu sore, di ruang rapat kecil tempat biasa mereka berdiskusi, Tamarin duduk bersila di kursi dengan lengan terlipat, wajahnya serius.

"Halo pak, saya tadi dengar kabar... bagian keuangan mulai memblokir koordinasi proyek renovasi karena katanya ada evaluasi ulang dari yayasan?" Nada suaranya datar, tapi sorot matanya tak bisa berbohong.

Yonathan mengangguk pelan, duduk di seberangnya sambil memainkan bolpoin.

"Nggih dok... saya mendengar hal yang sama. Dan saya rasa ini berkaitan dengan keputusan serikat. Sepertinya ada tekanan dari pihak tertentu. Mungkin karena saya terlalu vokal."

"Apa anda menyesal?"

Yonathan menatap Tamarin dalam, lalu menggeleng.

"Ndak bos. Tapi saya juga capek... karena saya tahu njenengan pasti ikut terbawa imbas."

Tamarin terdiam, kemudian mencondongkan tubuh sedikit ke depan.

"Pak Yo, saya tidak bisa tinggal diam lihat integritas anda diinjak-injak. Saya sudah kirimkan memo ke direktur dan CC ke beberapa kepala bagian. Isinya jelas. Bahwa saya bertanggung jawab penuh atas semua kerja sama kita. Dan saya akan bicara langsung di rapat komite besok."

Yonathan mengembuskan napas panjang. "Bos... njenengan tahu kan, direktur itu maunya aman. Saya nggak berharap banyak."

Tamarin tersenyum tipis. "Saya bukan berharap pada direktur. Tapi saya percaya, kebenaran yang dibela tidak akan sia-sia. Dan saya percaya anda."


Rapat komite keesokan harinya menjadi medan uji. Beberapa kepala bagian menunjukkan sikap dingin. Isu korupsi yang tanpa dasar sempat dilemparkan dengan sindiran. Namun Tamarin berdiri tegak saat gilirannya berbicara.

"Maaf pak direktur, saya harus luruskan. Semua pencapaian renovasi ruang Flamboyan adalah hasil kolaborasi. Jika ada kesangsian terhadap Ns. Yonathan, maka saya minta audit resmi, terbuka, dan adil. Tapi jangan hancurkan semangat kerja kami hanya karena tekanan politik."

Seketika ruang rapat sunyi. Direktur mengangguk pelan. "Baik... kita pertimbangkan pembentukan tim audit internal."


Saat Bukti Menjawab

Audit eksternal datang dua minggu setelah surat tak bernama itu merebak. Tim independen dari lembaga konsultan mutu rumah sakit tiba dengan setumpuk kuesioner dan ekspresi netral. Mereka tidak datang untuk menyelidiki, tapi untuk menilai hasil renovasi Flamboyan dari segi fungsionalitas dan dampaknya pada mutu pelayanan.

Yonathan menyambut mereka di lorong. Rambutnya agak kusut, kantong matanya jelas, tapi langkahnya tetap mantap. Tamarin muncul kemudian, membawakan map presentasi.

“Selamat pagi. Kami siap tunjukkan yang sudah kami kerjakan,” ujar Tamarin tenang, matanya tak gentar.

Audit berlangsung dua hari. Mereka mewawancarai pasien, staf, dokter jaga, bahkan tenaga kebersihan. Mereka menilai sistem rujukan, alur discharge planning, kenyamanan pasien, keamanan lingkungan, serta efektivitas komunikasi tim.

Hasilnya keluar satu minggu kemudian. Dalam bentuk email resmi dan ucapan langsung dari perwakilan lembaga:

“Ruang Flamboyan menjadi contoh ruang kelas 1 dengan pemanfaatan sumber daya terbatas namun memiliki dampak signifikan. Kepuasan pasien meningkat 32%. Turnover perawat berkurang. Dan komunikasi antarstaf membaik drastis. Ini bukan hanya soal renovasi ruang, tapi transformasi budaya kerja.”

Di ruang rapat pimpinan, direktur membuka email itu, membacanya dengan alis terangkat.

"dr. Tamarin, Pak Yonathan... saya kira kita perlu pertimbangkan konsep ini jadi model untuk ruang-ruang lain."

Tamarin menatap Yonathan sejenak. Tak ada selebrasi, tak ada pelukan. Hanya anggukan kecil di antara mereka berdua. Satu anggukan yang berisi: kita berhasil melewati ini.


Malamnya, setelah semua sepi, Yonathan berdiri di depan ruang Flamboyan. Lampunya temaram, suara mesin infus terdengar lembut dari balik pintu. Tamarin menyusul, membawa dua cangkir kopi.

“Tumben Pak Yo masih di sini malam-malam,” sapa Tamarin ringan.

Yonathan menerima kopi itu. “Kadang… saya cuma pengin pastikan semua ini nyata.”

“Ini nyata, Pak Yo. Kita buktikan, bukan cuma ke orang lain. Tapi juga ke diri kita masing-masing.”

Yonathan menatapnya. “Dan karena njenengan percaya dari awal… saya bisa bertahan.”

Tamarin tersenyum. “Saya tahu siapa yang saya percaya. Dan saya nggak pernah salah soal itu.”

Diam. Tapi kali ini hangat. Bukan karena ingin lebih, tapi karena tahu cukup.

Di dalam ruang Flamboyan, pasien tertidur tenang. Di luar, dua orang berdiri dalam diam yang saling menjaga. Mereka bukan sekadar rekan. Bukan sekadar twin flame yang tak pernah menyatu. Tapi dua kutub yang memilih tetap saling menguatkan dari kejauhan yang sehat.


Hari-hari berikutnya tetap berat. Tapi benang persahabatan mereka justru makin kuat. Di ruang-ruang kecil rumah sakit, mereka tetap berdiskusi, tertawa, bahkan saling menyemangati staf yang mulai lelah menghadapi ketidakpastian.

Suatu hari, saat matahari sore menyusup dari jendela Flamboyan yang kini tampil lebih hangat dan elegan, Yonathan berdiri mengamati lukisan baru yang tergantung di lorong.

"Bos, njenengan tahu? Kadang saya mikir, mungkin kita ini bukan cuma partner kerja."

Tamarin tersenyum. "Anda mau bilang apa, pak Yo?"

"Mungkin... kita ini semacam sumbu dan api. Saling nyulut. Tapi juga saling jaga, biar nggak kebakar."

Tamarin mengangguk. "Biar tetap menyala, tapi terarah. Saya suka analogi itu."

Dan dalam keheningan yang nyaman itu, mereka tahu: meski dunia kantor terus berubah, persahabatan mereka adalah satu hal yang tak tergoyahkan.



Jejak yang Diikuti

Kiprah Tamarin dan Yonathan mulai menjadi buah bibir—bukan lagi karena isu atau gosip lama, tapi karena jejak konsistensi yang mereka tunjukkan. Di mata staf muda, keduanya menjadi simbol keseimbangan yang langka: tegas tapi lembut, logis tapi hangat, profesional tapi manusiawi.

"Bu, kok saya lihat kepala instalasi sama kepala pelaksana itu bisa klop banget ya? Nggak kayak atasan-bawahan biasanya…" tanya Desi, perawat junior yang baru enam bulan bekerja, saat briefing pagi.

Wahyu, perawat senior yang lebih dulu bergabung, tertawa kecil. "Itu hasil tahun-tahun kolaborasi, Des. Mereka saling jaga, saling isi. Tapi juga saling tahan. Nggak gampang loh, dua karakter beda bisa jalan bareng."

Desi mengangguk, wajahnya serius. "Aku pernah lihat waktu Pak Yonathan salah info soal jadwal renovasi—dokter Tamarin langsung koreksi. Tapi caranya tenang banget. Habis itu, malah mereka ketawa bareng. Nggak ada marah-marahan."

Wahyu tersenyum. "Karena mereka saling percaya. Kalau salah, ya dibenerin. Bukan buat saling menjatuhkan, tapi buat saling tumbuh."

Staf-staf muda seperti Desi mulai belajar bukan hanya dari kebijakan dan sistem, tapi dari cara keduanya menangani konflik, mengambil keputusan, dan merespons tekanan.

Di sebuah sesi pelatihan manajemen mutu yang mereka adakan bersama, Tamarin membuka dengan kalimat sederhana namun berkesan:

"Halo semuanya. Hari ini kita belajar menyusun indikator mutu. Tapi sebenarnya, yang paling penting adalah menyusun relasi kerja yang sehat. Saya dan Pak Yo banyak berbeda, tapi satu hal yang selalu kami pegang: kita kerja bukan untuk adu kuat, tapi untuk saling kuatkan."

Yonathan menambahkan dengan gayanya yang ringan namun mengena, "Lha iya… njenengan tahu kan, kalau cuma ngandelin kekuatan masing-masing, ya cepet habis. Tapi kalau kita saling sokong? Baterainya bisa tahan lama."

Para peserta tertawa, namun wajah mereka serius menyimak. Mereka mencatat bukan hanya isi slide, tapi bahasa tubuh, intonasi, dan aura keterbukaan yang jarang mereka temui di dunia kerja yang penuh tekanan ini.

Dan lambat laun, semangat itu menular. Kepala ruang yang dulunya saling pasif kini mulai berani kolaborasi. Staf-staf yang dulu menunggu perintah, kini mulai mengusulkan inisiatif. Ada budaya baru yang tumbuh pelan-pelan: budaya mendengar, menghargai, dan berbagi peran.

Di sudut rumah sakit, Flamboyan bukan hanya ruang kelas satu. Ia menjadi simbol—sebuah ruang yang lahir dari kerja sama, dilahirkan dengan hormat dan ketekunan, tempat para staf belajar bahwa kepemimpinan bukan soal posisi, tapi ketulusan.

Dan dua sosok itu—dokter muda yang bijak dan perawat senior yang tahan banting—diam-diam menjadi teladan. Bukan karena mereka sempurna, tapi karena mereka nyata.



Ketika Jalan Mulai Bercabang

Ruang staf sore itu lengang. Briefing selesai, renovasi Flamboyan memasuki tahap akhir, dan satu per satu staf pulang. Hanya Tamarin dan Yonathan yang masih duduk di pojok, dua cangkir kopi sisa rapat masih hangat di atas meja.

“Bos,” kata Yonathan pelan, nadanya agak beda. “Njenengan tahu surat disposisi yang baru turun?”

Tamarin mendongak dari layar laptopnya. “Yang dari direktur? Iya. Saya tahu.”

“Jadi njenengan bakal diusulkan jadi kepala divisi pelayanan medis ya?” tanya Yonathan, mencoba menyembunyikan nada berat di suaranya.

Tamarin diam sesaat. “Baru usulan, Pak. Belum tentu realisasi.” Ia menghela napas. “Kalau pun iya… saya nggak yakin siap ninggalin tim ini.”

Yonathan tersenyum. “Tapi njenengan pantas. Selama ini saya belajar banyak dari njenengan. Bukan soal kebijakan atau rapat-rapat itu… tapi soal keberanian ngambil keputusan. Dan menjaga orang lain.”

Tamarin menatap sahabat kerjanya itu. “Saya juga banyak belajar dari anda. Soal tahan banting, soal taktis, soal mendengar di balik keluhan.” Ia tersenyum tipis. “Saya tahu akhir-akhir ini anda berat, apalagi pas kasus serikat kemarin. Tapi anda nggak pernah lari.”

“Karena ada njenengan juga, bos,” ujar Yonathan, lirih. “Kalau saya kerja di tempat lain, mungkin saya udah cabut.”

Keheningan menggantung. Bukan canggung, tapi penuh makna. Dua insan, dua kepala yang berbeda—perempuan yang intuitif dan tenang, laki-laki yang logis dan tangguh—yang selama bertahun-tahun berbagi beban dan visi.

“Kalau nanti saya pindah,” kata Tamarin pelan, “tetap lanjutkan, ya. Semua yang sudah kita bangun. Trust itu, budaya itu.”

Yonathan menatap jauh ke luar jendela, ke arah cahaya senja yang menyelinap masuk di sela tirai ruang staf.

“Saya nggak janji bisa sekuat njenengan. Tapi saya janji akan jaga yang sudah kita tanam.”

Tamarin tersenyum. “Itu cukup.”

Dan saat itu juga mereka sadar—apa yang mereka bangun lebih dari sekadar proyek renovasi. Itu adalah warisan nilai: integritas, empati, dan persahabatan profesional yang jarang ditemukan tapi tak tergantikan. Mungkin jalan mereka akan bercabang, tapi benang merah itu tetap mengikat: kepercayaan yang ditumbuhkan dalam kolaborasi nyata, dan persahabatan yang tumbuh dari saling hormat, bukan dari kesamaan.



Yang Tertinggal dan Tetap Terhubung

Pagi itu lorong Flamboyan terasa berbeda. Hening tapi penuh isyarat. Poster-poster motivasi yang biasanya dipasang di papan informasi kini berganti dengan tulisan besar: “Terima kasih dr. Tamarin”. Di bawahnya, tempelan kertas kecil bertuliskan ucapan tangan para staf. Ada yang rapi, ada yang sekadar coretan tergesa saat dinas malam.

Tamarin berdiri di depan ruang staf. Blus putih bersihnya tertata rapi, senyumnya terjaga—seperti biasa. Tapi matanya menyiratkan banyak hal: kenangan, harapan, dan kepergian yang tidak ringan.

Di dalam ruangan, tim sudah berkumpul. Ns. Yonathan berdiri agak di belakang, menyilangkan tangan di dada. Biasanya dia yang paling awal bicara saat briefing. Tapi kali ini, dia hanya diam.

“Selamat pagi,” kata Tamarin pelan. Suaranya terdengar lebih berat dari biasanya. “Hari ini bukan cuma hari terakhir saya di ruang Flamboyan. Tapi juga akhir dari sebuah babak yang luar biasa.”

Ia menatap satu per satu wajah yang dikenalnya—kepala ruang yang dulu sempat bersilang pendapat dengannya, perawat junior yang pernah ia bela di tengah skorsing yang tidak adil, bahkan cleaning service yang dulu ia ajak bicara saat semua orang terlalu sibuk.

“Saya percaya, setiap ruang yang kita bangun bukan hanya soal fisik. Tapi soal relasi. Soal kepercayaan.”

Beberapa kepala menunduk. Tamarin menghela napas.

“Dan di antara semua yang saya pelajari di sini, satu hal yang paling berharga adalah... kolaborasi. Terutama dengan anda, Pak Yo.” Ia menoleh ke Yonathan.

Yonathan mengangkat wajah, tak mengelak. “Bos,” katanya, agak tergagap. “Saya... nggak pandai pidato. Tapi saya tahu satu hal: njenengan datang ke Flamboyan bukan buat bangun ruang, tapi buat bangun kami.”

Ruangan hening. Beberapa mata berkaca-kaca.

“Dan karena itu,” lanjut Yonathan, “apa pun posisi njenengan nanti, bagi kami, njenengan tetap bagian dari Flamboyan.”

Tamarin tersenyum, kali ini tidak ditahan. “Terima kasih. Tapi saya tidak akan benar-benar pergi. Saya titip, Pak Yo. Jaga api itu. Supaya tetap menyala.”

Yonathan mengangguk. “Siap, dok. Selalu.”

Dan di akhir sesi, saat semua staf berdiri memberi penghormatan, tak satu pun dari mereka merasa ini akhir. Sebab ketika nilai-nilai sudah ditanam, dan persahabatan telah menemukan bentuknya, perpisahan hanya berarti berubahnya bentuk kebersamaan—bukan hilangnya.



Di Tempat yang Lebih Tinggi, dengan Langit yang Berbeda

Pindah ke jajaran manajerial tingkat rumah sakit bukan sesuatu yang ringan. dr. Tamarin kini duduk sebagai Wakil Direktur Pelayanan. Meja kerjanya berpindah ke sisi lain gedung, berhadapan langsung dengan urusan lintas direktorat, laporan mutu, surat keputusan, dan rapat-rapat strategi yang tak pernah habis. Namun di antara semua itu, satu hal yang tak pernah berubah: sesekali, pikirannya tetap kembali ke lorong Flamboyan.

Satu siang, ia membuka grup kecil WhatsApp yang diberi nama “Tim Flamboyan Bersinar.” Beberapa update masuk: foto renovasi baru, perawat baru yang bergabung, bahkan foto tumpeng kecil saat ulang tahun ruang. Tapi yang paling menarik perhatiannya adalah suara Ns. Yonathan yang mengirim voice note:

"Bos, laporan mingguan renovasi jalur oksigen selesai. Kepala ruang sempat beda pandang, tapi akhirnya bisa disepakati. Dan... ya, anak-anak masih sering nyebut njenengan kalau briefing. Katanya: ‘kalau Bu Tam masih di sini, pasti kita udah diajak diskusi dari minggu lalu.’ Hehehe."

Tamarin tersenyum. Ia mengetik balasan singkat:

“Kalian luar biasa. Tetap saling jaga. Flamboyan bukan soal saya, tapi soal kita semua.”

Namun posisi barunya bukan tanpa tantangan. Kini ia terlibat dalam rapat-rapat strategis yang mempertemukannya dengan berbagai agenda tersembunyi. Beberapa pihak mempertanyakan loyalitasnya, terutama karena ia masih sering terlihat “terlalu dekat” dengan tim rawat inap, terutama dengan Yonathan.

Desas-desus mulai terdengar. Seorang direktur bidang, dalam rapat informal, menyindir ringan, “Dok Tam itu masih terlalu sering ‘turun gunung’. Nggak semua hal bisa diselesaikan dengan sentimen masa lalu.”

Tamarin hanya diam. Tapi dalam dirinya, ia tahu: loyalitas tak berarti kehilangan objektivitas. Ia menghargai tim yang membentuknya. Dan ia tahu, Yonathan adalah salah satu rekan terbaik yang pernah ia miliki.


Dialog di Selasar Timur, Suatu Sore

Tamarin sengaja mengajak Yonathan bertemu di luar jam dinas, sekadar duduk di bangku panjang dekat taman kecil belakang rumah sakit. Tidak formal, hanya dua kolega yang saling memahami arah mata angin satu sama lain.

“Pak Yo,” sapa Tamarin, membuka percakapan. “Bagaimana kabar tim?”

“Sehat semua, bos,” jawab Yonathan, tersenyum ringan. “Tapi saya dengar njenengan agak ditekan karena masih dekat dengan kami.”

Tamarin tertawa pendek. “Dekat? Saya cuma peduli.”

“Dan kepedulian itu seringkali menimbulkan ketakutan bagi mereka yang terbiasa menjaga status quo,” sahut Yonathan, tenang.

Keduanya terdiam sejenak, lalu sama-sama tertawa—tawa tipis dua pejuang yang tahu betapa peliknya jalur idealisme di tengah birokrasi dan politik organisasi.



Persimpangan Jalan

Malam itu, kantor sudah lama sepi ketika Yonathan masih menatap layar laptopnya. Di dalam inbox-nya, ada satu email yang sudah dibuka berkali-kali: tawaran beasiswa program manajemen rumah sakit dari lembaga luar negeri, dengan rekomendasi langsung dari rekan relasinya di asosiasi perawat manajerial. Program dua tahun, sebagian daring, tapi tetap menuntut fokus, komitmen, dan sesekali perjalanan ke luar negeri untuk modul tertentu.

Ia menarik napas panjang. Tawaran ini prestisius. Tapi juga rumit. Karena jika ia terima, ia harus melepas beberapa tanggung jawab operasional. Beberapa kolega akan menyambut kabar ini dengan setengah hati. Ada rasa takut bahwa “jantung tim” akan kehilangan denyutnya.

Yonathan tahu ia tak bisa membuat keputusan ini sendirian. Ia mengetik pesan:

Bos, njenengan ada waktu besok pagi? Saya butuh sounding soal satu hal penting.


Pagi itu, di ruang kecil belakang kantor Wakil Direktur

Tamarin duduk bersandar dengan cangkir kopi hitam yang baru dibuat. Saat Yonathan masuk, ia langsung menunjuk kursi di depannya. “Silakan duduk, Pak Yo. Tumben serius banget nadanya.”

Yonathan mengeluarkan ponsel dan menunjukkan email tawaran beasiswa itu.

“Wah,” kata Tamarin setelah membaca sekilas. “Ini... peluang emas. Selamat dulu, ya. Kalau boleh tahu, apa yang membuat anda masih ragu?”

Yonathan menatapnya. “Anak-anak. Tim. Saya sendiri belum yakin apakah ini waktu yang tepat. Dan saya tahu, kalau saya mundur sedikit, beberapa suara sumbang akan bersorak paling keras. Termasuk mereka yang dulu menjegal.”

Tamarin menatapnya lama. “Pak Yo,” katanya pelan. “Saya tidak bisa memutuskan untuk anda. Tapi saya percaya anda akan tetap menjaga mereka, bahkan kalaupun anda melangkah keluar dari garis harian.”

Ia melanjutkan dengan nada yang lebih dalam, “Dunia ini butuh pemimpin yang bertumbuh. Kalau anda merasa ini jalan pertumbuhan anda, jangan tunggu izin dari orang-orang yang bahkan tidak tahu seberapa besar kontribusi anda selama ini. Dan... saya tetap akan jadi rekan anda. Bukan bos. Tapi orang yang percaya, bahwa anda dibentuk untuk sesuatu yang besar.”

Yonathan menunduk sebentar. Lalu mengangguk. “Terima kasih, dok. Njenengan tahu caranya menyeimbangkan kepala dan hati.”

Tamarin tertawa. “Bagian saya memang lebih ke intuitif. Tapi anda yang membuatnya jadi jalan strategis.”


Dua minggu kemudian, dalam rapat bulanan, Yonathan mengumumkan bahwa ia akan mengambil tawaran tersebut. Ia tidak pergi dari tim. Ia hanya naik kelas—dengan harapan ia bisa kembali dan memberikan lebih banyak, dengan kapasitas yang lebih dalam dan perspektif yang lebih luas.

Dan ketika salah satu kepala ruang bertanya, “Kalau Pak Yon keluar dari operasional, siapa yang akan mengayomi kita?” Tamarin menjawab dengan tenang:

“Kalau anda semua sudah pernah merasa diayomi, artinya Pak Yonathan sudah meninggalkan warisan kepemimpinan. Kita tidak kehilangan. Kita justru punya alasan untuk bertumbuh.”



Perpisahan di Flamboyan

Hari itu, langit mendung di atas Rumah Sakit. Tapi ruang Flamboyan tampak lebih hangat dari biasanya. Beberapa staf muda sibuk menyiapkan tumpeng kecil, yang sebenarnya lebih sebagai simbol kebersamaan ketimbang perayaan. Di pojok ruangan, Yonathan berdiri dengan senyum tipis, menerima ucapan satu per satu dari tim yang selama ini ia dampingi.

Tamarin datang belakangan, membawa map biru berisi beberapa dokumen. Tapi itu hanya alibi.

“Bos,” sapa Yonathan dengan suara lebih pelan dari biasanya.

“Halo, Pak Yo,” jawab Tamarin. “Rame ya. Saya cuma mau nitip sesuatu.”

Ia menyerahkan map itu. Di dalamnya: surat penghargaan internal yang dia rancang sendiri, ditandatangani oleh dirinya sebagai Kepala Instalasi. Tapi lebih dari itu—ada secarik kertas tulisan tangan.

‘Seorang pemimpin tidak selalu berada di depan timnya. Kadang ia mundur selangkah, agar yang lain bisa maju. Tapi hatinya tetap ada bersama mereka. Terima kasih untuk jejak-jejak anda di Flamboyan. – Tamarin.’

Yonathan membacanya dalam diam. Tak ada pelukan. Tak ada air mata. Tapi ada anggukan dalam. Dan keheningan yang berbicara lebih jujur dari kata-kata.


Di Negeri Jauh

Waktu di belahan bumi lain terasa berjalan lebih lambat. Yonathan, yang kini terbiasa dengan sesi daring lintas zona waktu, sering duduk larut malam di asrama kecilnya. Di dinding, tertempel post-it kuning dengan tulisan: “Don't forget where you grew.”

Di sela modul kepemimpinan sistem rumah sakit dan diskusi tentang kebijakan kesehatan global, ia masih rutin bertukar kabar dengan Tamarin. Biasanya lewat email. Kadang hanya dua-tiga kalimat. Tapi selalu dengan rasa hormat dan kekaguman terselubung.

Pak Yo, staf baru sudah mulai bertanya: 'Pak Yon dulu gimana cara ngajarin kami bikin rencana jaga yang manusiawi tapi tetap efisien?' Saya jawab: itu ilmunya akan selalu hidup selama kita menjaga semangatnya. – Tamarin.

Dok, saya baru selesai studi kasus tentang transformasi rumah sakit berbasis value-based leadership. Rasanya seperti waktu kita ngobrol tengah malam soal strategi ruang Flamboyan. Ternyata ngobrol-ngobrol kita dulu... jadi modal besar sekarang.

Jarak membuat keduanya semakin jernih dalam memaknai apa yang sudah mereka bangun. Bukan sekadar proyek renovasi. Tapi ekosistem kepercayaan. Budaya kerja yang saling jaga. Dan persahabatan yang tidak dibentuk oleh romantisme, tapi oleh panggilan yang sama: memberi makna di tempat kerja.


Di ujung semester, Yonathan mendapat izin kembali ke Indonesia selama tiga minggu untuk tugas observasi. Salah satu tempat yang ia datangi pertama: Rumah Sakit.

Saat masuk ke Instalasi Rawat Inap, ia langsung disambut oleh seorang staf muda yang dulu pernah ia bimbing.

“Pak Yon!” serunya. “Mau ke Flamboyan? Ibu Tamarin lagi di sana.”

Di dalam, Tamarin sedang duduk memeriksa dokumen usulan dari kepala ruang.

“Halo, Pak Yo,” ucapnya tanpa terkejut. Seolah waktu tak pernah benar-benar memisahkan mereka.

“Halo, bos,” balas Yonathan.

Dan seperti biasa—tak perlu penjelasan panjang. Mereka tahu, bahkan setelah banyak musim berganti, persahabatan mereka masih menyala. Karena api yang menyala dari saling percaya dan nilai yang sama... tak mudah padam.


Transformasi yang Kembali ke Akar

Pulang dari program studi yang mengubah banyak hal dalam dirinya, Yonathan merasa bahwa ia kembali bukan hanya untuk mengisi posisi kosong, tapi untuk membawa semangat baru. Tentu saja, perubahan tidak datang dalam bentuk langsung dan instan. Namun, lebih seperti perubahan yang terasa dalam pola pikir, cara berinteraksi, dan yang paling penting—pembentukan ekosistem baru di lingkungan kerja.

Hari pertama kembali ke Rumah Sakit, suasana terasa sedikit berbeda. Ruang Flamboyan—yang dahulu menjadi lambang perjuangan mereka—telah diperbaharui, namun beberapa staf masih merasakan dampak perubahan yang belum sepenuhnya selesai. Yonathan tahu, meskipun secara fisik ruangan itu sudah bertransformasi, pengaruhnya terhadap cara bekerja, cara berkomunikasi, dan rasa keterhubungan antar anggota tim, masih memerlukan waktu.

Ia langsung menuju ke kantor Tamarin. Suasana di luar ruangannya agak lebih formal daripada yang biasa, lebih banyak tekanan. Seolah, setiap sudut ruangan memanggil mereka untuk bergerak lebih cepat dari sebelumnya.

“Dok,” Yonathan membuka percakapan begitu masuk. “Saya ingin mengajak tim untuk melihat lebih jauh dari hanya sekadar renovasi fisik. Ini soal bagaimana kita membawa nilai baru—sesuatu yang lebih dalam dari itu.”

Tamarin menatapnya dengan serius, tetapi penuh pengertian. “Apa yang kamu pikirkan, Pak Yo?”

“Sudah banyak yang kita lakukan secara teknis,” jawab Yonathan. “Tapi, kita belum mengubah cara kita berinteraksi. Jika kita ingin membangun pelayanan yang lebih baik, kita perlu memfokuskan diri pada budaya organisasi, cara kita berkolaborasi, dan yang paling penting—perasaan saling percaya. Saya ingin ini menjadi lebih dari sekadar rutinitas. Kita bisa mulai dengan merancang ulang komunikasi kita.”

Tamarin mendengarkan dengan seksama, seperti biasa, dengan ketenangan yang memberi ruang untuk refleksi. “Jadi, lebih ke pendekatan leadership value-based yang kamu pelajari?”

Yonathan mengangguk. “Ya. Kita perlu mendorong staf untuk bertumbuh bersama. Tidak hanya dalam hal teknis, tapi juga dalam hal pribadi. Menghadirkan rasa memiliki, rasa dihargai, dan tentunya rasa percaya satu sama lain.”


Membuka Pembicaraan Baru dengan Tim

Yonathan mulai melakukan pertemuan dengan kepala ruang dan beberapa perawat senior untuk membicarakan gagasan ini. Di ruang pertemuan, suasana sedikit canggung. Beberapa wajah tampak terkejut, mungkin bahkan skeptis, namun Yonathan tahu ia harus memulai dari titik ini. Mungkin beberapa akan membutuhkan waktu untuk meresapi gagasan ini.

“Rekan-rekan sekalian,” Yonathan memulai dengan nada yang lebih santai, “kita sudah melewati banyak perubahan besar, dari renovasi fisik ruang Flamboyan hingga cara kita bekerja. Tapi perubahan yang lebih dalam, yang kita sebut ‘transformasi’, bukan hanya soal ruang, peralatan, atau sistem manajerial. Itu adalah tentang kita sebagai tim, dan bagaimana kita memandang peran kita.”

Ia melanjutkan, “Saya baru saja kembali dari program studi di luar negeri, dan saya membawa beberapa perspektif baru tentang bagaimana kita bisa bekerja lebih kolaboratif, lebih inklusif, dan lebih fokus pada pelayanan yang lebih manusiawi. Saya ingin memulai dengan mengubah cara kita berkomunikasi dan memperbaiki hubungan antar sesama.”

Ia menatap setiap orang di ruangan itu. Beberapa wajah menunjukkan keraguan, tapi ada juga yang mulai mengangguk.

“Untuk itu, saya mengajak kita semua untuk mulai berani mendengarkan lebih banyak. Dan berani berbicara, bukan hanya tentang masalah atau keluhan, tapi tentang harapan dan tujuan kita bersama.”


Implementasi Nilai-nilai Baru dalam Keputusan Manajerial

Dalam beberapa bulan berikutnya, Yonathan dan Tamarin mulai menerapkan pendekatan baru. Mereka mulai memfokuskan perhatian pada peningkatan komunikasi internal—baik antar tim medis maupun dengan staf administratif. Pertemuan mingguan yang dulu terkesan formal dan terpisah, kini berubah menjadi sesi diskusi terbuka. Mereka memberi kesempatan lebih banyak pada staf untuk berbicara tentang tantangan sehari-hari dan memberi masukan tentang bagaimana sistem rumah sakit dapat berjalan lebih lancar.

Proses ini berjalan dengan tidak mulus. Beberapa staf senior merasa kebijakan baru terasa asing, bahkan sedikit mengganggu rutinitas mereka. Namun, dengan kepemimpinan yang tegas namun penuh pengertian dari Yonathan dan dukungan dari Tamarin, mereka berhasil membangun hubungan yang lebih transparan. Tim menjadi lebih terbuka dalam berdiskusi, dan perasaan saling percaya mulai terbangun kembali.

Pada saat yang sama, Yonathan menyadari bahwa nilai-nilai yang ia bawa dari studi di luar negeri bukan hanya teori kosong. Ia melihat bagaimana pendekatan manajerial berbasis nilai, yang mengutamakan kesejahteraan bersama, mendorong karyawan untuk lebih bertanggung jawab atas pekerjaan mereka, sekaligus merasakan dampak positif terhadap hubungan antar sesama.


Penutup 

Suatu pagi, setelah beberapa bulan berjalan, Yonathan berdiri di depan ruang Flamboyan, memandangi ruang yang sekarang terasa lebih hidup dengan kolaborasi tim yang semakin solid. Tamarin muncul di sebelahnya.

“Kita melangkah lebih jauh, ya?” kata Tamarin sambil tersenyum.

Yonathan menoleh. “Ya. Saya merasa kita sedang menuju ke arah yang benar.”

Tamarin menepuk bahu Yonathan. “Saya percaya ini akan memberi dampak besar, Pak Yo. Kalian bukan hanya mengubah ruang, tapi kalian mengubah cara pandang banyak orang. Itu yang lebih penting.”

Yonathan tersenyum. Dalam hati, ia tahu bahwa transformasi yang paling besar tidak datang hanya dari perbaikan fisik, tapi dari cara setiap orang di dalam tim ini berperan, saling mendukung, dan menjadikan rumah sakit ini tempat yang lebih manusiawi bagi pasien dan para pekerjanya.

Selesai



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.

Highlight Obrolan: Isu Kesehatan Mental