Bab 5 – Yes Men dan Para Pengkultus
Hari Minggu, usai ibadah, mereka tak langsung pulang. Seperti biasa, mereka duduk di bangku paling belakang, menunggu jemaat bubar. Rio ingin berbicara langsung dengan salah satu majelis yang mereka rasa masih bisa diajak berpikir jernih—Pak Daniel.
“Pak Dan, saya boleh ngobrol sebentar?”
Pak Daniel agak kaget, tapi tersenyum. “Oh iya, Pak Rio… ayo.”
Mereka duduk di bangku kosong, hanya bertiga.
Rio langsung to the point.
“Pak Dan, saya dan Nia makin gelisah, karena beberapa kotbah akhir-akhir ini makin jauh dari teks. Terutama soal natur manusia dan kedaulatan Allah. Kami sudah coba sampaikan ke Pak Pendeta langsung, tapi tidak ditanggapi. Kami juga menyampaikan di grup, tapi malah disindir balik.”
Pak Daniel tertunduk. Wajahnya tak sekeras pendeta. Tapi juga tak cukup kuat untuk berdiri tegak.
“Saya ngerti keresahan kalian, Pak Rio. Tapi… begini ya… kadang memang lebih baik kita jaga damai. Biar Tuhan sendiri yang urus.”
Rio tersenyum tipis. “Itu ayat mana, Pak, tentang ‘jaga damai dengan mengabaikan kesesatan’? Kalau Tuhan urus semua, kita tinggal diam saja? Lalu fungsi tubuh Kristus untuk saling menegur itu buat siapa?”
Pak Daniel terdiam.
Nia menambahkan, “Kalau kami diam, kami berdosa. Karena kami tahu. Dan tahu itu menuntut tanggung jawab.”
Pak Daniel menatap mereka lama. Lalu hanya berkata, “Saya nggak bisa bantu apa-apa. Pendeta nggak suka dikritik. Dan… yah, yang lain juga cuma ikut aja.”
Hari itu mereka pulang dengan hati berat. Bukan karena gagal berargumentasi—tapi karena makin jelas:
Mereka bukan tidak mengerti. Mereka tidak berani.
Di minggu-minggu berikutnya, itu makin nyata.
Setiap kali Rio menulis di grup, selalu ada dua jenis respon:
-
Yes men: majelis atau simpatisan pendeta yang langsung menengahi dengan bahasa diplomatis, “mari tetap tenang, jangan jadi batu sandungan.”
-
Para pengkultus: jemaat fanatik yang akan menulis kalimat seperti, “Jangan sentuh urapan hamba Tuhan!” atau “Kalian merasa paling ngerti Alkitab, ya?”
Rio tak pernah membalas dengan emosi. Semua dibalas dengan ayat. Penjelasan. Logika. Kebenaran.
Tapi semakin jelas:
Banyak orang lebih memilih tenang dalam kesesatan daripada gelisah karena kebenaran.
Sampai suatu saat, salah satu jemaat kirim chat pribadi ke Nia.
“Mbak Nia, saya sebenarnya setuju sama kalian. Tapi saya takut ngomong. Takut jadi bahan gosip. Tapi terima kasih, ya. Saya jadi belajar banyak diam-diam dari diskusi kalian.”
Nia menunjukkan pesan itu ke Rio. Mereka saling menatap. Rio hanya berkata, pelan:
“Kalau suara kebenaran harus dibisiki diam-diam, itu tanda terang sedang dibungkam. Dan kita nggak bisa berhenti.”
Komentar