Bab 17 – Roh Kudus: Pribadi yang Menginsafkan dan Memeteraikan
Hari itu, udara pagi terasa lebih segar dari biasanya. Rio dan Nia sedang menikmati sarapan bersama, ditemani secangkir kopi hitam yang baru diseduh. Matahari mulai merayap masuk melalui jendela, menciptakan pola-pola cahaya di lantai.
Nia meletakkan sendok di piring, lalu menatap Rio dengan serius. “Rio, kamu pernah merasa bahwa hidup kita kadang terlalu keras untuk bisa dijalani tanpa Roh Kudus?”
Rio menyeringai, matanya masih sedikit mengantuk. “Setiap hari, Ni. Kita gak bisa jadi orang Kristen yang setia hanya dengan kemampuan kita sendiri. Itu sebabnya aku bersyukur banget Tuhan memberi kita Roh-Nya. Tanpa Dia, kita akan kehabisan tenaga hanya untuk berusaha.”
Nia mengangguk. “Aku paham. Sering banget kita merasa kesulitan untuk bertumbuh dalam iman, dan kadang rindu yang mendalam terasa begitu berat. Tapi setiap kali kita berdoa, ada rasa tenang yang tiba-tiba datang. Itu pasti karena Roh Kudus yang bekerja, kan?”
Rio menatapnya dengan lembut. “Roh Kudus adalah penghibur yang dijanjikan. Dia tidak hanya menghibur, tapi juga menginsafkan kita. Mengingatkan kita tentang kebenaran. Tanpa-Nya, kita nggak akan bisa melihat diri kita yang sejati, yang perlu diselamatkan.”
Nia menatap keluar jendela, mengamati daun-daun yang bergerak perlahan tertiup angin. “Aku selalu merasa seolah-olah ada sesuatu yang menuntun kita menuju Tuhan lebih dalam setiap hari, meskipun rasanya kadang terjebak dalam rutinitas dunia ini. Itu pasti bukan hanya usaha kita sendiri, kan?”
“Pasti,” jawab Rio, “Roh Kudus adalah meterai dari keselamatan kita. Dia yang menjamin bahwa kita benar-benar milik Allah. Dia yang memberikan keyakinan itu dalam hati kita. Kalau kita masih punya kerinduan untuk hidup benar di hadapan Tuhan, itu bukan karena kita baik, tapi karena Roh Kudus yang menginsafkan dan memimpin kita.”
Nia merenung, lalu bertanya, “Tapi kadang aku merasa, di dunia yang begitu penuh dengan godaan, bagaimana cara kita bisa lebih sensitif terhadap suara Roh Kudus? Kadang sepertinya Dia berbicara, tapi kita terlalu sibuk dengan diri sendiri untuk mendengar.”
Rio menghela napas. “Aku paham. Hidup kita penuh dengan distraksi. Tapi mungkin itu sebabnya Tuhan mengajarkan kita untuk berdiam diri, untuk mendengarkan Dia. Tidak hanya dalam doa formal, tapi juga dalam keheningan hati. Roh Kudus memberi kita kekuatan untuk hidup sesuai kehendak Tuhan, tapi kita harus belajar untuk peka terhadap suara-Nya.”
Nia mengangguk pelan. “Dan kadang, Roh Kudus itu bisa juga menegur kita dengan cara yang nggak nyaman, kan?”
“Betul,” jawab Rio dengan serius. “Tapi itu adalah bagian dari pekerjaan-Nya. Menginsafkan kita, menunjukkan kita kesalahan kita, agar kita semakin serupa dengan Kristus. Itu semua adalah bagian dari pertumbuhan rohani kita.”
Nia tersenyum. “Aku sangat bersyukur ada Roh Kudus dalam hidup kita. Tanpa Dia, kita nggak akan bisa bertahan di tengah dunia yang penuh godaan dan kesulitan ini.”
Rio meraih tangan Nia dan menggenggamnya erat. “Sama, Ni. Aku nggak bisa membayangkan hidup tanpa Dia. Roh Kudus adalah anugerah terbesar yang Tuhan berikan untuk memastikan kita tidak pernah sendirian.”
Di grup diskusi Bible Class, mereka melanjutkan pembahasan tentang peran Roh Kudus dalam kehidupan orang Kristen. Banyak peserta yang mengaku merasa lebih paham tentang kedalaman pekerjaan Roh Kudus.
Salah satu anggota grup, Pak Gunawan, menulis:
“Selama ini saya berpikir Roh Kudus hanya hadir dalam saat-saat tertentu saja, seperti saat doa bersama atau persekutuan. Tapi diskusi ini membuka mata saya, bahwa Roh Kudus adalah pribadi yang ada di dalam kita setiap hari, menginsafkan dan memimpin kita.”
Rio menanggapi dengan bijak:
“Betul, Pak. Roh Kudus bukan hanya hadir di momen-momen tertentu, tapi setiap saat. Dia yang menguatkan kita, memberi kebijaksanaan, dan juga menegur kita dengan kasih. Kita tidak bisa berjalan tanpa-Nya.”
Malam itu, setelah diskusi selesai, Rio dan Nia duduk berdua di ruang tamu mereka. Pemandangan luar sudah mulai gelap, lampu-lampu jalan mulai menyala.
Nia menatap Rio dengan lembut. “Aku merasa begitu damai malam ini. Kita punya Tuhan yang begitu dekat, yang mengajarkan kita setiap saat melalui Roh Kudus.”
Rio menggenggam tangan Nia lagi, kali ini dengan lebih dalam. “Aku juga, Ni. Dan aku percaya, selama kita hidup dalam kepenuhan Roh Kudus, kita bisa menjalani hidup yang berkenan di hadapan Tuhan.”
Nia tersenyum. “Kita nggak sempurna, tapi Roh Kudus selalu ada, mengubah kita, membentuk kita menjadi semakin serupa dengan Kristus.”
Rio menutup matanya sejenak, mengucap syukur dalam hati. “Itulah anugerah terbesar. Kasih yang memilih kita. Dan Roh Kudus yang menginsafkan kita, untuk hidup dalam kasih itu.”
Komentar