Bab 11 – Ketika Pendeta Mulai Membaca
Kami tidak menyangka. Sama sekali tidak.
Malam itu setelah Berean Night, Rio menerima pesan WA dari nomor tak dikenal.
“Shalom, Pak Satrio. Saya sudah beberapa kali mengikuti diskusi daringnya—diam-diam. Awalnya karena penasaran, sekarang karena haus.”
Rio melirik Nia. “Wah, siapa ini?” Ia lanjut baca pelan-pelan.
“Saya pendeta. Mohon tidak disebutkan nama. Selama ini saya tahu ada yang keliru, tapi saya tidak berani bicara. Takut dianggap nyeleneh oleh sesama rekan pendeta dan majelis. Tapi saya makin yakin, kebenaran itu bukan soal aman atau tidak, tapi soal taat atau tidak.”
Mereka terdiam cukup lama. Serasa seluruh perlawanan selama ini mendapat satu titik terang. Bahkan seorang pendeta... mengaku lapar juga.
Nia berkata pelan, “Tuhan sedang bekerja di balik layar.”
Rio membalas dengan sopan dan terbuka. “Terima kasih, Pak. Kalau suatu saat ingin berdiskusi terbuka atau belajar bersama, kami akan senang sekali. Jangan sungkan.”
Balasan datang cepat.
“Saya sudah mulai baca ulang Roma dan Yohanes dengan kacamata baru. Terima kasih sudah membuat saya malu tapi juga bersyukur. Malu karena saya terlalu lama tidur. Bersyukur karena saya belum mati.”
Rio terkekeh pelan. “Itu baris yang puitis.”
Nia mengangguk, matanya hangat. “Lihat, Rio... benih itu mulai bertunas. Mungkin kita ditolak dari gedung gereja, tapi Firman tetap masuk ke ruang-ruang hati.”
Malam itu mereka tidak bisa tidur cepat. Tapi bukan karena gelisah. Mereka terlalu bersyukur.
Karena satu jiwa lagi kembali, bukan kepada mereka—tapi kepada Firman yang sejati.
Komentar