Belajar dalam Bekerja
Dulu aku cenderung lebih banyak
berdiam diri sehingga aku dikenal sebagai Mimi si pendiam. Bukan karena aku
tidak bisa bicara, melainkan karena aku tidak ada bahan untuk dibicarakan.
Selain itu, lingkunganku masih kurang kondusif bagiku untuk mengaktualisasikan
diri melalui berbicara. Aku masih belum terlalu mengenal orang-orang di
sekitarku. Memang bukan kebiasaanku untuk langsung bersikap sok kenal sok dekat
dengan siapapun yang baru saja kutemui. Sehingga, kesan pertama orang-orang
yang bertemu denganku adalah aku ini pendiam, cuek, dan dingin. Tapi begitu
sudah kenal akrab, aku lebih banyak terbuka dan lebih banyak bicara. Di bagian
di mana aku ditempatkan pertama kali, aku seperti kecemplung di kawah
candradimuka. Banyak hal baru yang harus kupelajari dalam waktu yang singkat
sementara aku belum menemukan orang-orang yang bisa kuajak berbincang-bincang
dengan lebih akrab. Walhasil, aku kelabakan dan lebih banyak terlihat kikuk bin
kaku. Tidak masalah bagiku sekarang, karena saat aku menuliskan tulisan ini,
aku sudah ditempatkan di tempat yang lebih nyaman dan kondusif untuk belajar.
Di
tempat ini, di mana aku membuat tulisan ini, aku merasakan atmosfer yang lebih
nyaman dan tidak terlalu menekan. Maklum, di sini bukan di garis depan yang
berhadpan langsung dengan pasien gawat darurat. Aku lebih banyak berkutat
dengan hal-hal administratif yang melibatkan banyak kertas dan tulisan. Waktuku
untuk berpikir, berdiam diri, dan menulis tentu saja lebih banyak. Aku bisa
leluasa belajar apa pun yang kusukai, tentu saja sepanjang tidak mengganggu
jalannya kerja rumah sakit. Yang sangat membuatku bersemangat di sini adalah
kesempatan untuk mengembangkan sisi sosialku dalam hal berbicara atau
berbincang-bincang. Aku mendapati di tempat ini aku bisa mengobrol masalah apa
pun sesukaku sepanjang tidak memancing keributan. Dengan Pak Ias, sang
analisator data, aku bisa mengobrol tentang hal-hal rohani apa pun. Dengan Pak
Harto, sang pemasuk data, aku bisa mengobrol tentang hal-hal sosial
kemasyarakatan. Dari obrolan-obrolan itu, aku bisa belajar dan menyerap banyak
hal. Jendela wawasanku bertambah luas melaluinya. Yang lebih mengasyikkan lagi,
aku bisa belajar berbicara dengan orang lain dalam suasana yang menyenangkan.
Tidak terlalu menekan dan tidak tergesa-gesa. Memang, belajar itu paling pas
jika suasana hati senang dan tenang, tidak dalam kondisi terintimidasi apalagi
termanipulasi.
Jika
nanti aku ditempatkan di tempat lain yang mungkin tidak senyaman saat ini, aku
sudah siap. Aku siap untuk berinteraksi dengan orang-orang baru berbekal apa
yang sudah kupelajari. Tidak ada lagi yang namanya minder, takut, atau ragu.
Setidaknya, di tempat sekarang aku sudah belajar untuk berbicara dengan santai
tanpa takut menyakiti maupun disakiti. Aku belajar untuk mendahulukan hal-hal
penting daripada hal-hal yang genting. Hal-hal penting bagiku belum tentu
genting atau penting bagi orang lain. Aku belajar untuk mengenali kecenderungan
hatiku dan kesukaanku yang terbesar. Ternyata aku cenderung untuk lebih banyak
mendengar dan mengamati situasi terlebih dahulu sebelum menceburkan diri ke
dalam hiruk-pikuknya. Jika sudah terlalu kewalahan dengan hiruk-pikuk itu, aku
biasanya menarik diri sebentar. Aku mencari tempat yang tenang untuk menemukan
kembali orientasiku berada di tempat di mana aku ditempatkan. Setelah tenang,
aku beroleh energi baru untuk menghadapi segala sesuatunya.
Belajar
memang tidak ada matinya! Sementara waktu ini, aku sedang belajar untuk
berkomunikasi efektif dengan sesama rekan kerjaku. Tidak kusia-siakan waktu dan
kesempatan yang ada ini. Kunikmati proses belajar ini dengan antusias dan
semangat. Aku percaya semua ini tidak sia-sia, pasti berguna untuk diriku dan
orang lain.
(Ladang TUHAN di
Yogyakarta, Rabu 15 Mei 2013)
Komentar