Obrolan yang Menyembuhkan
Aku mendapati bahwa di lingkungan
keluarga, persekutuan, dan tempat kerja selalu ada kecenderungan yang satu ini.
Itu adalah kesukaan orang-orang untuk mengobrol atau berbagi cerita. Cerita
yang dibagikan bisa macam-macam. Ada yang menceritakan pergumulan pribadi, ada
yang menceritakan kondisi bangsa dan negara, ada pula yang menceritakan tentang
pergumulan orang lain. Tidak salah memang, karena manusia pada dasarnya adalah
makhluk sosial di samping sebagai makhluk pribadi. Sebagai makhluk sosial, maka
kebutuhan dasarnya adalah membangun hubungan dengan orang lain. Dan salah satu
cara terampuh untuk membangun hubungan itu adalah dengan mengobrol atau
bebicara satu sama lain. Semakin dekat dan dalam hubungan, bahan obrolan pun
bisa semakin banyak dan beragam. Hal-hal kecil pun dapat menjadi bahan obrolan
yang menarik dan tidak berkesudahan.
Obrolan
itu dapat kukelompokkan menjadi dua. Yang pertama adalah obrolan yang
mematikan. Mematikan di sini dapat berupa mematikan semangat maupun karakter
orang. Bentuk yang paling jamak dijumpai adalah gosip. Gosip adalah kegiatan
membicarakan atau menggunjingkan orang lain di belakangnya. Asyik dan seru
karena kita jadi lupa diri dan menganggap diri lebih baik dan lebih benar jika
dibandingkan dengan orang yang kita gosipkan. Tanpa kita sadari, kita ternyata
telah membunuh karakter orang itu dengan menjelek-jelekkannya di hadapan orang
lain. Sungguh mematikan! Selain gosip tentang sesama, obrolan yang tidak kalah
mematikan itu dapat berupa obrolan negatif dan pesimistik. Hal ini terutama
nyata saat kita mengobrolkan kondisi bangsa, negara, dan masyarakat yang jauh
dari kondisi ideal. Pemerintah yang korupsi, bangsa yang kehilangan identitas,
masyarakat yang semakin ngawur, tentu membuat kita frustrasi. Rasa frustrasi
itu kemudian kita katarsiskan dengan membicarakannya secara membabi buta dan
tidak bijak dengan siapa saja yang kita anggap punya pemikiran yang sama dengan
kita. Selain itu, di tempat kerja pun tidak jarang kita suka mengkritik sana
sini tanpa mampu memberikan solusi nyata. Kita sebar desas-desus yang belum
tentu kebenarannya sehingga membuat keruh suasana. Atmosfer tempat kerja pun
menjadi tidak nyaman dan kinerja pun menjadi buruk. Semua hanya gara-gara
obrolan yang mematikan, yang sayangnya sering tidak kita sadari.
Obrolan
yang kedua adalah obrolan yang menyembuhkan. Daripada sibuk dengan obrolan yang
menyakiti orang lain, adalah lebih baik untuk membudayakan obrolan yang
menyembuhkan. Menyembuhkan karena isinya menyejukkan dan meneduhkan hati.
Pemandangan yang indah ini mungkin bagi sebagian orang sangat jarang ditemui.
Aku mau menjadi bagian obrolan yang kedua ini. Aku membiasakan diriku untuk
membicarakan hal-hal yang baik dan sedap didengar di manapun dan dengan siapa
pun aku berada. Di rumah, aku membiasakan diri untuk tidak menggosipkan anggota
keluarga yang lain. Aku mengekang diriku manakala ada hasrat untuk
menjelek-jelekkan anggota keluarga yang lain. Demikian juga di tempat kerja.
Aku berusaha untuk tidak menyulut api permusuhan. Sebaliknya, aku menyiramkan
air kedamaian hati. Jika ada rekan kerja yang memancingku untuk berkomentar
negatif pesimistik, aku akan belokkan dengan memunculkan sisi positif
optimistik dari hal yang dibicarakan.
Selama
ini aku lebih banyak mendengarkan orang lain berbicara. Dengan banyak
mendengarkan itu, aku jadi lebih banyak mengerti dan memahami situasi. Aku
lebih bisa memahami cara berpikir orang lain tanpa menghakiminya. Jika ada
sesama rekan kerja yang kurang atau tidak akur satu sama lain, sebisa mungkin
aku tidak mengadu domba mereka. Aku memilih bersikap bijak yaitu dengan menjadi
juru penengah yang adil. Tidak memihak salah satu. Pernah aku mendengar dari
salah seorang rekanku, sebut saja A, yang dengan jujur mengatakan bahwa ia kurang
atau tidak terlalu akur dengan rekan yang lain, sebut saja B. Demikian juga
sebaliknya, B pun mengatakan ketidakcocokannya dengan A pada suatu ketika.
Sikapku sebagai rekan kerja dan penengah yang baik adalah tidak mengompori
mereka. Aku memilih untuk lebih banyak diam saat mereka masing-masing
bercerita. Dalam hati aku baru bisa berdoa supaya mereka dapat bekerja tanpa
harus mengganggu satu sama lain. Jika mereka bisa saling cocok dan akur, maka
aku bisa mengatakan bahwa Tuhan telah mengerjakan mukjizat-Nya di tempat
kerjaku. Dengan A dan B secara terpisah, aku bisa ngobrol atau
berbincang-bincang tentang apa pun dengan suasana yang menyenangkan. Obrolan
kami dapat dikatakan merupakan obrolan yang sarat akan makna, positif,
optimitik, dan membangun. Memang ada kalanya kami membicarakan juga orang lain
dengan nada sinis karena tidak setuju dengan sikap mereka. Tapi, secara
keseluruhan, aku menilai obrolan-obrolan yang terjadi itu lebih banyak
positifnya.
Demikianlah
sedikit uneg-unegku seputar obrolan yang menyembuhkan. Kiranya kita semua dapat
membudayakan obrolan semacam itu dalam keseharian masing-masing sehingga
berubahlah atmosfer di sekeliling kita menjadi lebih baik. Haleluya!
(Ladang TUHAN di
Yogyakarta, Senin 13 Mei 2013)
Komentar