Komodo Hijau Tosca
Komodo adalah julukan yang
kuberikan bagi mobil Escudo dengan cat hijau tosca metalic atas nama ibuku yang
diwariskannya kepadaku. Saat ini si Komodo ini menjadi pusaka keluarga di Rumah
Cahaya, alias tidak pernah dioperasikan sebagaimana tugas panggilannya, sebagai
kendaraan keluarga. Dulu, ketika masih jaya-jayanya, si Komodo pernah
dikendarai kami sekeluarga sampai ke Bali, bahkan sampai mendaki ke Bromo.
Bannya yang kuat dan kokoh mampu memanjat trotoar, meskipun itu bukanlah bagian
dari tugas wajibnya. Bodinya yang imut dan lucu itu sering terbentur-bentur
entah itu pagar, tembok, maupun kendaraan lain. Dengan Komodo inilah aku
pertama kali belajar mengendarai mobil. Komodo ini pulalah yang setia kuajak ke
sekolah dan kuliah. Hiasannya yang awet dan paling khas adalah gantungan
berbentuk tulang paha mini di spion tengah depan. Di kaca belakang, tertempel
stiker-stiker lucu dengan satu yang paling keren yaitu tulisan “Holy Spirit
Team”. Yang paling penting dari si Komodo ini adalah pemutar kaset musik dan
radio yang selalu setia mengisi udara dengan nyanyian-nyanyian surgawi. Maka,
bolehlah dikatakan bahwa Komodo hijau tosca ini adalah kendaraan jurusan surga.
Aku dulu pernah mendedikasikan si Komodo ini untuk melayani TUHAN, apapun itu
bentuknya. Dulu, sering aku melakukan doa keliling kota dengan mengendarai
Komodo ini, entah sendiri ataupun bersama-sama teman. Rasanya seru dan
menyenangkan sekali bertualang bersama Komodo!
Naik
mobil seperti Komodo hijau tosca itu ada keuntungannya. Selain nyaman dan
relatif lebih aman jika dibandingkan dengan naik sepeda motor, dengan naik
Komodo aku bisa menikmati keliling-keliling kota bahkan luar kota jarak jauh
sambil mendengarkan musik sesuka hati. Selain itu, kalau tidak mengemudi, aku
bisa duduk sampai jatuh tertidur selama perjalanan. Hal seperti ini tidak bisa
kulakukan jika aku membonceng sepeda motor. Namun di samping keuntungan, ada
pula kerugian dari naik Komodo atau mobil pada umunya. Aku jadi tidak bisa
menikimati semilir angin dan suasana riuh rendah lalu lintas di sekitarku
karena terhalang bodi mobil yang rapat. Kesannya jadi seperti menonton film di
layar lebar tiga dimensi saja. Sedangkan jika naik sepeda atau sepeda motor itu
bagaikan bertualang dalam kondisi alam yang sesugguhnya. Yang paling tidak
menyenangkan, dengan naik Komodo, aku turut menyumbang kemacetan dan polusi di
jalan raya. Mungkin aku merasa nyaman-nyaman saja, tapi bagaimana dengan
lingkungan dan orang-orang yang tidak seberuntung aku? Hal inilah yang patut
kupikirkan.
Dari
uraian di atas, aku berkesimpulan bahwa memiliki mobil semacam Komodo hijau
tosca ada nilai plus maupun minusnya. Nilai plusnya mungkin hanya sebatas
meningkatkan gengsi dan demi kepraktisan perjalanan. Nilai minusnya adalah
dampak jangka panjang bagi lingkungan dan budaya. Bagi lingkungan, terlalu
banyak orang yang menggunakan mobil pribadi di jalan raya dapat menambah
kemacetan, aneka polusi, dan meningkatkan stres. Bagi budaya, dalam jangka
panjang, orang semakin malas menggerakkan otot-otot kaki mereka untuk berjalan
meskipun jarak tempuh hanya pendek. Orang hanya mengejar segi kepraktisannya
saja tanpa memikirkan dampaknya bagi diri dan lingkungan. Dari segi kesehatan,
tubuh manusia semakin lama semakin penuh dengan faktor risiko akibat kurang
bergerak. Oleh karena itu, aku berketetapan dalam hati untuk membatasi diri
tidak naik Komodo hijau tosca itu kalau tidak terlalu kepepet. Selama masih
bisa berjalan, bersepeda, atau membonceng sepeda motor, aku akan mengisitirahatan
si Komodo di rumah Cahaya. Mungkin yang kupilih ini terbilang bodoh menurut
anggapan umum, tapi aku tahu bahwa aku telah berkontribusi untuk kebaikan diri,
sesama, dan lingkungan dalam jangka panjang. Maka, biarlah Komodo hijau tosca
itu berdiri tenang sebagai pusaka yang agung di tempatnya, tak perlu mengejar
gengsi atau hormat dari orang lain.
(Ladang anggur TUHAN di
Yogyakarta, 8 November 2013)
Komentar