Musyawarah Sangkakala
Setiap Jumat sore, di rumah
ibuku, diadakan latihan rutin paduan suara Sangkakala. Paduan suara ini adalah
paduan suara yang anggotanya sudah senior alias berumur setengah baya.
Terbentuk dari persekutuan warga gereja wilayah Sagan beberapa dekade lalu,
paduan suara Sangkakala masih solid dan bersemangat meskipun sudah senior. Yang
aku suka dari paduan suara ini adalah suasana keakraban dan kekeluargaan yang
begitu kental mewarnai setiap latihan dan pertemuannya.
Seperti
itu juga suasana kekeluargaan yang hangat dan ‘gayeng’ yang kurasakan saat
bapak-bapak dan ibu-ibu anggota Sangkakala sedang musyawarah kemarin sore.
Musyawarah tersebut membicarakan masalah jadi atau tidaknya Sangkakala mengisi
pujian di GKJ Manahan Solo. Seminggu sebelumnya, bapak-bapak dan ibu-ibu
Sangkakala telah menyatakan niat mereka untuk mengisi pujian, mengiringi Pdt.
Siswadi dari GKJ Gondokusuman Yogyakarta yang dijadwalkan tukar mimbar. Tapi
sore kemarin, beberapa ibu yang mengurusi uang kas menyatakan sesuatu yang
perlu dibicarakan bersama. Maka, dilangsungkanlah musyawarah mufakat.
Masalah
yang dikemukakan adalah mengenai beaya dan ketersediaan uang kas. Beaya yang
harus dikeluarkan untuk transportasi saja sudah sedemikian besar melampaui
banyaknya uang kas. Belum lagi untuk konsumsi. Selain itu, diingatkan pula
bahwa para anggota beberapa waktu sebelumnya pernah mencetuskan keinginan untuk
merayakan HUT Sangkakala dengan pesiar ke luar kota sekaligus mengisi pujian di
gereja setempat. Untuk membeayai HUT, para anggota sudah menabung dan terkumpul
sejumlah uang kas. Jika uang kas dipakai untuk beaya transportasi ke Solo, lalu
bagaimana dengan rencana HUT itu? Maka, perlu diputuskan apakah Sangkakala jadi
menyanggupi atau tidak untuk mengisi pujian di GKJ Manahan.
Musyawarah
berjalan dengan sangat meriah. Ramai akan usulan dan masukan. Ada yang memberi
masukan tentang jalan Yogya-Solo yang ramai dan jelek sehingga dikuatirkan
waktu perjalanan menjadi lebih panjang. Ada pula yang menyangsikan ketepatan
waktu berangkat yang sangat dini, sebelum matahari terbit. Kendala-kendala
dipaparkan satu demi satu. Namun, ada pula yang menawarkann solusi yang masuk
akal. Suasana sungguh ramai namun tetap diselingi ‘guyonan’ yang selalu
mencairkan pembicaraan yang serius namun santai itu. Antara kedua kutub,
bersedia dan tidak bersedia pergi ke Solo, sama-sama kuat alasannya. Karena
belum dicapai pula kata mufakat, maka dilakukanlah pemungutan suara. Pemungutan
suara sebenarnya memenangkan untuk berangkat ke Solo. Tapi, adanya satu dua
pendapat yang menyatakan keberatan, maka demi kebersamaan, diputuskan secara
resmi bahwa paduan suara Sangkakala tidak bisa pergi ke Solo. (Meskipun
demikian, beberapa atau sebagian anggota tetap berniat pergi ke Solo karena
merasa tidak enak kepada Pdt. Siswadi).
Lepas
dari apa pun keputusan yang diambil, aku sangat mengapresiasi dan merasa
terberkati menyaksikan proses musyawarah itu. Aku belajar bagaimana suatu
keputusan bersama itu diambil. Ada proses panjang yang harus dilalui meliputi
curah pendapat, pemaparan masalah, perspektif dari berbagai sisi, pencarian
solusi terbaik, yang semuanya itu harus dilandasi dengan akal sehat dan hati
nurani yang murni. Dengan sabar mendengarkan setiap orang berbicara sampai
selesai tanpa memotongnya, kita bisa memahami permasalahan dengan lebih baik
tanpa harus menjadi hangus terbakar emosi. Perbedaan pendapat tidak menjadi
masalah asalkan relevan dan disampaikan dengan mengutamakan prinsip
kekeluargaan. Persatuan dan keakraban pun tetap terjaga meskipun perbedaan
pendapat terjadi. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah humor atau canda tawa
yang selalu tercetus manakala suasana tegang perlu dicairkan.
Tanpa
terasa, prinsip Pancasila sila keempat telah dilaksanakan dengan sedemikian
apiknya di sini. Musyawarah untuk mencapai mufakat dalam proses pengambilan
keputusan bersama ternyata begitu indah kusaksikan. Sungguh bersyukur aku
menjadi bagian dari paduan suara Sangkakala (senior) yang telah memberi teladan
luar biasa ini. Aku tidak lagi hilang harapan manakala menyaksikan proses rapat
para wakil rakyat (di televisi) yang kadang diwarnai dengan gontok-gontokan
perang urat saraf. Ternyata, secercah cahaya masih ada di negeri tercinta ini.
Nilai-nilai luhur bangsa ini masih terpelihara dalam lingkungan dekatku. Maka,
dengan bangga dan penuh syukur kunaikkan pujianku ke hadirat TUHAN atas
kekayaan hikmah yang kusaksikan ini.
Terpujilah TUHAN semesta alam, yang telah menganugerahi bangsaku dengan
kekayaan hikmah berupa nilai-nilai luhur Pancasila, musyawarah mencapai mufakat
untuk kebaikan bersama dan kemuliaan nama TUHAN.
(Kebun anggur TUHAN di
Yogyakarta, Sabtu 2 Februari 2013)
Komentar