Ibuku Pahlawanku
Ibu adalah orang terdekat yang
mengenalkanku pada TUHAN dan kasih-Nya sejak aku masih kecil. Ibu jugalah yang
membimbing, membombong, dan menstimulasiku sehingga aku menjadi seperti
sekarang ini. Banyak hal yang ibuku lakukan yang mempengaruhiku baik aku sadar
maupun tidak menyadarinya. Tulisan ini adalah sebagai penghargaan dan wujud
cinta kasihku kepada ibuku, sang Kartini ladang anggur TUHAN di Yogyakarta.
Lahir
sebagai anak kelima dari delapan bersaudara, ibuku tumbuh sebagai seorang
perempuan kuat yang sangat peduli kepada keluarganya. Beliau biasa dipanggil
dengan nama kecilnya di tengah keluarga besar kami, yaitu sebagai bude, tante,
eyang, dan ibu Titiek. Nama lengkapnya adalah Pudji Sri Rasmiati. Dengan gelar
profesi kebanggannya, yaitu dokter, beliau lebih dikenal sebagai dr. Pudji di
lingkungan kerja rumah sakit. Tapi bagiku, apa pun jabatan atau profesinya,
ibuku tetaplah ibu yang luar biasa. Beliau tetap kupandang dan kuperlakukan
sebagai ibu meskipun profesi dan posisi jabatannya sedemikian rupa menuntut
sikap profesional. Sikap profesional ini pada umumnya mereduksi personalitas
atau kepribadian seseorang sehingga membuatnya kehilangan kemanusiawian
manakala berinteraksi dengan orang lain. Namun, dalam diri ibuku, profesionalisme
tidaklah membuatnya menjadi mesin atau budak kerja. Ibuku tetap mampu bersikap
manusiawi dan personal meskipun dalam lingkungan profesional yang paling tidak
berpribadi seperti apa pun itu. Dan itulah yang membuatku salut dan bangga
menjadi anak ibuku.
Hubunganku
dengan ibuku penuh dengan warna-warni kehidupan antara ibu dan anak. Waktu
kecil, aku sering bersikap seenaknya sendiri dan tidak menghormati ibuku. Sampai
suatu ketika TUHAN mengizinkanku untuk ‘kena batunya’ yang keras dan sakit
sekali sehingga membuatku harus berubah sikap lebih mengasihi dan menghormati
ibuku. Sejak itu, sikapku berubah menjadi jauh lebih baik. Aku mulai belajar
mengenal ibuku dan mendoakan segala sesuatu yang terbaik untuk beliau. Tidak
ada lagi sikap kurang ajar atau memusuhi, yang ada hanya sikap mengasihi,
menghargai, dan menghormati. Meskipun tidak jarang kami berselisih paham dan
berdebat sengit mengenai sesuatu hal, aku tetap menghormati ibuku dengan
menyampaikan pendapatku dengan cara sebaik mungkin yang tidak merendahkan atau
melecehkan harkat dan martabat ibuku. Semua ini aku pelajari seiring perjalanan
hidupku yang tidak luput dari liku-liku.
Dalam
tugas pekerjaannya, ibuku selalu bersikap menjunjung tinggi totalitas. Bagi
beliau, pekerjaan di ladang TUHAN, baik itu sebagai klinisi maupun struktural,
bukan sekedar pekerjaan mencari uang belaka melainkan sebagai wujud nyata
pelayanan beliau kepada TUHAN. Iman ibuku nampak nyata dalam setiap sepak
terjangnya. Segala sesuatu yang ada di depannya selalu dikerjakan dengan
sungguh-sungguh, tanpa pamrih, dan sesempurna mungkin. Semangat ibuku yang
tinggi dalam bekerja itu sering membuat orang yang melihatnya geleng-geleng
kepala. Bagaimana bisa seorang perempuan bekerja sedemikian rupa, mengatur
waktu dan perhatiannya dengan cermat, sehingga pekerjaan sebagai dokter bedah
dan sebagai bagian struktur organisasi ladang TUHAN tidak ada satupun yang
terbengkalai. Semangat yang gigih itu juga menyemangati setiap orang yang
terlibat di dalam pekerjaan ibuku. Mungkin itu salah satu sebabnya ibuku
dijuluki sebagai “Kartini” ladang TUHAN ini.
Satu
hal yang membuatku salut, bangga, dan hormat terhadap ibuku adalah sikap beliau
dalam membimbing dan mendidik bawahan dan juniornya. Dalam mendidik, ibuku
tidak pernah memadamkan semangat orang yang dididiknya. Sebaliknya, ibuku
mengarahkan dan membombong mereka supaya terdorong untuk mau belajar dan maju.
Metode yang sering digunkan oleh ibuku adalah memberikan tugas atau pekerjaan
yang harus diselesaikan. Dari tugas dan pekerjaan itu, ibuku menanamkan sikap
bertanggung jawab dan mau belajar terus menerus. Selain itu, ibuku pun dapat
menilai karakter seseorang melalui setiap pekerjaan yang dilakukannya. Jika
hasilnya belum sesuai harapan, ibuku dengan sabar terus mendorong orang itu untuk
bisa memenuhi target yang diharapkan. Aku melihat ibuku sangat berjiwa besar
sebagai seorang pendidik. Bisa dikatakan bahwa beliau termasuk figur guru
teladan.
Ibuku
sangat bangga dan mengidolakan figur ayahnya, yang berarti adalah kakekku juga,
yaitu eyang Kasmolo Paulus. Lebih dikenal dengan sebutan dr. Kasmolo, kakekku
telah menginspirasi dan memotivasi ibuku untuk meneruskan jejak perjuangannya
menjadi seorang dokter bedah yang tetap berpegang teguh pada prinsip pelayanan
dan kasih kepada TUHAN. Ketika muda, ibuku sering diajak eyang Kasmolo visite
(mengunjungi dan memeriksa keadaan) pasien di rumah sakit ladang TUHAN di
Yogyakarta. Mungkin dari kegiatan jalan-jalan itulah mulai tertanam jiwa kasih
dan militan seorang dokter Kristen dalam diri ibuku. Jiwa kasih dan militan itu
tampak ketika ibuku berjuang mempertahankan dan memajukan rumah sakit ladang
TUHAN ini meskipun harus menghadapi banyak tantangan. Bisa dibayangkan besarnya
tantangan bagi seorang perempuan yang berprofesi sebagai dokter bedah yang
didominasi oleh laki-laki sambil mengerjakan urusan struktur organisasi rumah
sakit dan menjaga keharmonisan keluarga (kecil dan besar) itu. Ibuku sering
menganalogikan dirinya sendiri sebagai pohon beringin dalam keluarga yang
bertanggung jawab memastikan kelangsungan hidup anggota keluarganya yang lain.
Dan analogi itu sangat aku amini kebenarannya berdasarakan pengamatan dan
pendengaranku selama ini.
Dalam
lingkungan keluarga, ibuku sangat gemar mengumpulkan anggota-anggota keluarga
dalam suatu acara persekutuan yang akrab dan meriah. Rumah besar beliau sering
menjadi tempat berkumpulnya sanak saudara dan handai taulan dari dalam maupun
luar kota pada hari Natal, tahun baru, atau acara-acara khusus seperti ulang
tahun, syukuran, dan lain sebagainya. Ibuku sangat menyukai suasana kebersamaan
dalam riuh rendahnya celoteh keluarga besar. Bisa dimaklumi, karena beliau
tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga besar pula. Ibuku sering
bercerita tentang suka duka keluarga besarnya dulu. Diceritakannya bagaimana
eyang Kasmolo selalu membacakan Alkitab sebelum mulai makan bersama di meja
makan. Dengan bahasa zaman sekarang, mezbah keluarga sudah terjadi di keluarga
besar ibuku dulu. Dan mezbah keluarga seperti inilah yang dirindukan untuk
terus-menerus berlangsung di rumah oleh ibuku. Sungguh warisan iman yang luar
biasa. Aku patut bersyukur dan berbangga.
Akhirnya,
aku hanya bisa bersyukur dan berbangga memiliki seorang ibu yang luar biasa.
Dan wujud syukurku itu aku tuangkan dalam tulisan ini. Jika aku agak kesulitan
atau kurang luwes dalam mengekspresikan rasa cinta dan sayangku kepada ibuku,
maka semoga dengan tulisan ini semua rasa cinta dan sayang itu dapat
tersampaikan dengan baik. TUHAN memberkati dan merahmati ibuku selalu!
Haleluya!
(Rumah Sakit Ladang
TUHAN di Yogyakarta, Senin 15 April 2013)
Komentar