Ritual Jalan-Jalan
Sebelum membangun keluarga
sendiri, aku dan keluarga intiku (bapak, ibu, dan kakak) punya ritual untuk
melepas penat dan sekaligus mempererat hubungan antaranggota keluarga. Ritual
itu adalah ‘berjalan-jalan’ naik mobil. Biasanya kami melakukan ritual itu setelah
menghadiri kebaktian hari Minggu, entah siang atau sore. Rute yang ditempuh
bervariasi, tergantung selera sang pengemudi, yaitu bapak. Jarak yang ditempuh
bisa mencapai berpuluh-puluh kilo meter. Perjalanan pergi pulang dari Jogja
dapat memakan waktu sampai larut malam. Capek atau lelah tidak terasa karena
tertutup oleh kepuasan batin yang diperoleh. Masing-masing kami mempunyai
kesenangan sendiri-sendiri. Bapak senang mengemudi dengan penuh konsentrasi,
tanpa banyak omong, mungkin sambil mendengarkan obrolan atau celetukan para
penumpang dengan latar belakang musik dari audio mobil. Ibu lebih senang
tertidur menjelang pertengahan perjalanan sampai ke tujuan perjalanan. Aku dan
kakakku cenderung suka mengamati sekeliling, mendengarkan musik, atau membaca,
sebelum pada akhirnya pun tidur juga karena getaran mobil yang monoton.
Setelah
berkeluarga, aku seperti ‘kehilangan’ ritual jalan-jalan naik mobil sampai
tertidur itu. Maklum, sampai tulisan ini dibuat, Mas Cah belum punya SIM A
sehingga belum berani membawa mobil ke mana-mana. Walhasil, aku pun menjadi
terbiasa melek atau terjaga terus sepanjang perjalanan membonceng sepeda motor.
Jarak tempuh ‘berjalan-jalan’ dengan sepeda motor tidak sejauh dengan mobil.
Sehingga, aku belajar untuk mencukupkan diriku dengan apa yang ada. Tidak ada
lagi mendengarkan musik sepanjang perjalanan apalagi sampai tertidur. Namun
akhir-akhir ini, muncullah kebiasaan baru yang terbilang cukup menyenangkan.
Ini semua berkat Asa, sang putri kerajaan surga. Setelah mandi sore dan makan,
biasanya Asa rewel karena menjelang waktu tidur. Untuk mengatasi rewelnya, aku
dan Mas Cah mengajak Asa ‘berjalan-jalan’ naik motor menjelajah kampung sekitar
rumah. Biasanya kami pergi sekitar jam lima sampai jam enam sore. Asa yang
digendong dengan ransel itu pun terlihat sangat menikmati waktu-waktu
kebersamaan ini. Biasanya dia akan tertidur menjelang berakhirnya
‘jalan-jalan’. Sepanjang perjalanan naik motor itu, aku menikmati pemandangan
kanan kiri jalan sambil mengajak ngobrol Mas Cah. Aku jadi terbiasa dengan
perjalanan tanpa mendengarkan musik di tape. Aku bisa menikmati musik jalan
raya berupa deru kendaraan bermotor dan bunyi klakson yang bertalu-talu.
Rasanya begitu kaya dan merakyat sekali.
Ada
beberapa manfaat yang bisa diambil dari ritual ‘berjalan-jalan’ naik motor atau
mobil itu. Yang pertama adalah melepas penat terutama akibat kebosanan atau
lelah berpikir. Pikiran yang jenuh akibat rutinitas baik itu di rumah maupun di
kantor dapat terjernihkan dengan selingan berupa menikmati ritual jalan-jalan.
Kedua, dapat mempererat tali kasih. Dengan mengobrol sepanjang perjalanan,
entah topik apa yang diangkat, pikiran menjadi santai dan hati menjadi lebih
hangat. Ketiga, dan ini yang paling penting, adalah adanya kesempatan untuk
mengadakan kontemplasi terselubung. Pikiran yang mengembara ke mana-mana dapat
tersalurkan pengembaraannya sepanjang perjalanan. Tubuh yang tidak banyak
bergerak namun sudah mengalami perpindahan ruang dan waktu berkat kendaraan
yang dinaiki itu cukup membantu menyantaikan arus pikiran sehingga sering
muncul gagasan-gagasan yang inspiratif dari hasil kontemplasi terselubung. Sering
pula waktu-waktu itu aku manfaatkan untuk berseru atau ngobrol dalam hati
dengan TUHAN. Mungkin di perjalanan aku melihat suatu pemandangan menarik
kemudian aku serukan gagasan yang timbul darinya kepada Tuhan. Waktu yang
kumanfaatkan dengan ‘jalan-jalan’ naik motor itu sungguh tidaklah sia-sia
karena selain berhasil menidurkan Asa, aku memperoleh penyegaran roh dan jiwa
yang murah dan meriah.
(Ladang anggur TUHAN di
Yogyakarta, 25 Oktober 2013)
Komentar