Mbak Ami Sang Pekerja
PRT atau pekerja rumah tangga
menjadi fenomena tersendiri bagi masyarakat Indonesia khususnya dalam lingkup
keluarga. Karena pada zaman sekarang, di Indonesia, sudah umum jika laki-laki
dan perempuan sama-sama bekerja di luar rumah, kebutuhan akan PRT menjadi tak
terelakkan. Memang ada juga keluarga yang mandiri dan modern yang tidak
mempekerjakan PRT dalam rumah tangga mereka. Tapi, bagi sebagian besar keluarga
yang mampu secara ekonomi, sepertinya sudah menjadi hal wajib untuk
mempekerjakan PRT. Bermula atas dasar kebutuhan itulah, maka beberapa waktu
yang lalu, kami mepekerjakan seorang PRT yang tugas utamanya adalah membantu
menjaga Asa yang masih bayi sementara aku dan Mas Cah bekerja di luar rumah.
Namanya
Aminah. Aku memanggilnya Mbak Ami. Mbak Ami adalah PRT yang direkrut bekerja di
rumah tangga kami di Rumah Cahaya selama beberapa waktu yang lalu. Pekerjaan
utamanya adalah membantuku menjaga Asa terutama saat aku harus pergi bekerja di
ladang TUHAN di Yogyakarta. Mbak Ami berasal dari Wonosari, sebuah kota kecil
di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Memang, banyak sekali
perempuan-perempuan muda dari Gunung Kidul yang merantau ke kota menjadi PRT
dengan berbagai motivasi. Mbak Ami sendiri ketika kami tanya-tanyai mengatakan
bahwa motivasinya adalah untuk belajar menjadi ibu rumah tangga kelak saat
sudah menikah, di samping tentu saja mencari penghasilan yang halal. Pendidikan
terakhirnya SMP. Mbak Ami tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena
alasan biaya dan memang sudah umum bagi perempuan muda di daerahnya untuk tidak
melanjutkan pendidikan lebih tinggi.
Sejak
awal kerja sampai keluarnya Mbak Ami, aku belajar banyak hal berharga. Aku
belajar bagaimana menilai seseorang dari kinerjanya. Selama ini, aku menganggap
Mbak Ami sebagai bagian dari keluarga sendiri tanpa perlu menilai apakah
pekerjaannya beres atau tidak. Ternyata, sebagai ibu rumah tangga, sangatlah
perlu bagiku untuk mengecek dan mengevaluasi kinerja PRT dengan objektif. Aku
yang cenderung cuek ini belajar dari Mas Cah dan keluarganya bagaimana bersikap
tegas sekaligus lemah lembut dalam mengarahkan PRT. Dari ibu mertua, aku
belajar bagaimana bersikap benar dan pada tempatnya jika berhubungan dengan
PRT. Ibu mertua banyak sekali memberikan wejangan untuk Mbak Ami yang intinya
mengajari Mbak Ami bagaimana bersikap yang baik dan benar. Mbak Ami pun aku
beri dorongan untuk terus belajar. Karena keluarga dari Solo sudah biasa
melakukan segala sesuatu secara mandiri, maka mereka bisa menilai dengan lebih
cermat kinerja Mbak Ami. Ternyata, apa yang kuanggap wajar dan bukan masalah
merupakan hal yang kurang baik dan menjadi ganjalan bagi ayah ibu mertua dan
Mas Cah. Memang kesan yang kudapat dari sikap ayah ibu mertua terhadap Mbak Ami
pada awalnya terlalu keras dan kaku. Tapi setelah dipikir dan direnungkan, aku
mendapati ada benarnya juga pendapat mereka. Bahkan, aku merasa TUHAN menegurku
melalui nasihat ibu mertua perihal kedekatan Asa yang lebih lengket kepada Mbak
Ami daripada kepadaku. Aku mengambil hikmah pada saat yang tepat. Aku sadar
sebelum semuanya terlambat. Aku mengambil kembali tugas, tanggung jawab, dan
posisiku sebagai ibu yang baik tepat sebelum Mbak Ami berpamitan untuk berhenti
bekerja. Rasanya semuanya begitu tepat waktu. TUHAN terasa betul sudah mengatur
semuanya sehingga aku secara pribadi sudah siap dengan berbagai bentuk
perubahan dalam kehidupan keluargaku.
Setelah
Mbak Ami berhenti, aku dan Mas Cah bersama-sama bekerja mengatur kembali
kebiasaan rutin dalam keluarga. Aku harus bangun lebih pagi untuk menyiapkan
makanan, memandikan Asa, bersiap-siap untuk kerja, dan lain sebagainya. Aku
juga harus belajar kembali untuk menata prioritas kegiatan-kegiatan dalam rumah
tangga supaya tidak ada yang terabaikan. Prioritas utama adalah kesejahteraan seluruh
anggota keluarga. Aku perlu belajar untuk mengatur makanan, pakaian, dan tetek
bengek rumah secara mandiri. Apa yang selama ini menjadi tugas rutin Mbak Ami
kini menjadi tugas rutin aku dan Mas Cah. Aku tidak menyesalkan Mbak Ami
berhenti jadi PRT di rumah kami. Aku berharap Mbak Ami dapat memetik pelajaran
yang berharga dari pengalamannya bekerja di keluarga kami meskipun cuma
sebentar. Lebih dari itu, aku berdoa supaya dalam perjalanan hidupnya kemudian,
Mbak Ami pun beroleh pengenalan yang benar akan Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan
juru selamatnya pribadi. Aku bersyukur karena setidaknya aku pernah sekali dua
kali menyampaikan kabar baik keselamatan secara halus kepada Mbak Ami. Kiranya
apa yang aku sampaikan itu menjadi benih yang tumbuh dalam hati Mbak Ami
sehingga saatnya nanti dapat dituai. Selamat tinggal, Mbak Ami! Sampai ketemu
lagi!
(Rumah Cahaya, Rabu 15
Mei 2013)
Komentar