Jiwa Korsa
Beberapa waktu yang lalu, kota
Yogyakarta dikejutkan oleh peristiwa berdarah yang melibatkan aksi premanisme.
Dimulai dari peristiwa tewasnya seorang anggota Kopasus di tangan empat preman
yang katanya adalah mantan anggota kepolisian, dilanjutkan dengan drama aksi
penembakan para tersangka di LP Cebongan oleh para anggota Kopasus. Ternyata,
masyarakat Yogya lebih banyak bersimpati kepada tindakan Kopasus itu karena
selama ini sudah merasa sangat dirugikan oleh premanisme. Maka, menjadi sangat
populerlah istilah jiwa korsa. Jiwa korsa adalah semangat solidaritas yang
ditumbuhkan dalam diri para prajurit TNI. Dengan jiwa korsa ini, para prajurit
TNI menjadi sangat kuat dalam kesatuan. Jika ada satu yang dilukai, yang lain
turut merasakan.
Semangat
jiwa korsa yang ditunjukkan oleh oknum Kopasus itu telah memberikan inspirasi
yang luar biasa. Kopasus adalah pasukan elit TNI Angkatan Darat yang dilatih
secara khusus untuk melindungi negara. Dalam latihan yang berat, mereka
dikondisikan untuk senantiasa siaga karena taruhannya adalah nyawa. Mereka
terlatih untuk melakukan suatu misi sampai berhasil. Keluarga mereka pun harus
siap sewaktu-waktu terhadap kemungkinan terburuk yaitu berpisah selamanya
dengan anggota keluarga yang menjadi Kopasus. Maka, dapatlah dimaklumi apabila
dalam keseharian mereka dipandang sebagai orang-orang yang melebihi masyarakat
sipil. Itu sebabnya pula orang-orang tidak boleh bersikap sembarangan terhadap
tentara.
Belajar
dari semangat kesetiakawanan ala jiwa korsa itu, kita dapat sedikit meniru dan
menerapkannya di keluarga, tempat kerja, dan persekutuan gereja. Manakala satu
anggota tersakiti atau menderita, anggota-anggota lain pun turut merasakannya.
Ada rasa kepedulian yang tulus dan murni. Rasa kepedulian itu dapat
diekspresikan dengan bermacam-macam cara. Tidak cukup hanya dengan berdoa atau
mendukung secara tidak langsung. Diperlukan sumbangan daya dan kalau perlu dana
juga. Misalnya, ketika salah seorang anggota keluarga atau rekan kerja dan
persekutuan sedang sakit atau tertimpa musibah, sudah selayaknyalah kita
sebagai bagian dari orang-orang terdekatnya untuk berbela rasa dengan cara
menjenguk, mendoakan, dan kalau perlu membantu biaya sekedarnya. Semua itu akan
menambahkan daya juang dan semangat hidup dari si sakit atau orang yang
menderita. Misalnya lagi, ketika ada yang kesusahan dalam hal keuangan dan
dalam kondisi terjepit, maka sudah selayaknya bagi kita sebagai orang terdekat
untuk membantu semampu kita. Semua ini semata-mata karena rasa solidaritas antar
teman dan saudara yang murni seperti jiwa korsa para tentara.
Sebaliknya,
ketika seseorang sedang mujur atau mendapat kelimpahan berkat berupa harta yang
bertambah, kenaikan pangkat, atau bertambahnya jumlah anggota keluarga, maka
kita sebagai orang-orang terdekat hendaknya ikut pula merasa senang dan bangga.
Jika yang satu dimuliakan, semua anggota pun ikut merasa senang, bukannya iri
hati dan dengki. Memang lebih mudah untuk ikut merasakan penderitaan orang lain
dibandingkan dengan ikut merasakan kesenangannya. Kita pada umumnya lebih suka
melihat wajah yang memelas dan menderita daripada wajah yang senang atas
keberhasilan. Tapi Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk bisa bersikap benar,
yaitu menangis bersama dengan orang yang menangis dan tertawa bersama dengan
orang yang tertawa. Selain itu, kita sebagai anggota persekutuan orang percaya
digambarkan juga sebagai satu anggota tubuh Kristus. Meskipun berbeda-beda
bentuk dan fungsinya, kita diikat dan disatukan oleh kepala yaitu Yesus Kristus
sendiri. Seperti layaknya satu tubuh, maka kesatuan tujuan dan kebersamaan itu
penting. Pertanyaannya, sudahkan semangat kesatuan itu ada terwujud?
Marilah
kita kobarkan semangat kesatuan hati layaknya jiwa korsa itu di manapun TUHAN
telah menempatkan kita. Di keluarga, di tempat kerja, di persekutuan, di mana
pun. Salam komando!
(Ladang TUHAN di
Yogyakarta, Rabu 15 Mei 2013)
Komentar