Pelajaran Berharga dari Lek Sar
Hari ini dan
kemarin, aku mendapatkan pelajaran yang berharga dari Tuhan. Pelajaran yang
sederhana tetapi tidak mudah juga untuk kulakukan secara sempurna. Apakah itu?
Ini tentang sikap yang benar antara atasan dengan bawahan, antara majikan
dengan pembantunya. Bagaimana ceritanya? Beginilah ceritanya. Dimulai dari hari
kemarin sore, ketika aku sedang mandi sore. Asa, putri kami—anugerah
TUHAN—tiba-tiba menangis keras. Tidak ada satu pun yang langsung sigap
menenangkannya karena aku sedang mandi. Mas Cah, sang suami dan ayah Asa,
sedang pergi bekerja. Asa terbangun dari tidur sorenya. Aku masih di kamar
mandi. Kira-kira lima menit Asa menangis keras sampai sesenggukan. Cepat-cepat
kuselesaikan ritual mandi soreku, dan segera menuju ke boks tempat tidur bayi.
Hampir bersamaan dengan itu, Lek Sar—sang pekerja rumah tangga—pun masuk ke
kamar kami. Dengan pembawaan yang tidak pernah kalem dan selalu menomorsatukan
teriakan, Lek Sar pun berkomentar begini,
“Ya ampun, kok ditinggal! Mbak
Mimi…!!!”
Tanpa membalas komentarnya yang
cenderung menyalahkanku, padahal aku sudah tahu kalau aku salah, aku segera
bertindak menenangkan Asa. Ternyata Asa mengompol. Segera kulakukan prosedur
menolong bayi mengompol. Karena Asa belum mandi, sekalian saja kumandikan dia.
Lek Sar pun membantu mempersiapkan air. Karena komentar-komentar yang
sebentar-sebentar muncul dari Lek Sar, yang cenderung menggangguku, aku
berusaha keras tidak menghardik Lek Sar. Secara manusiawi, atau lebih tepatnya
disebut kedagingan, aku ingin marah-marah terhadap Lek Sar. Aku tidak suka
dikomentari padahal aku sudah tahu kesalahanku. Maka, aku dengan cepat
memandikan Asa dan kusuruh Lek Sar diam.
“Wis, tidak usah komentar!”
begitu kataku dengan nada yang tegas dan cenderung galak. Memang, aku sedang
menahan kemarahan yang timbul.
Lek Sar pun diam. Namun Asa
terus menangis dan semakin keras menangis. Segera kusiapkan susu. Kuberikan
pada Asa. Lumayan menolong. Tapi tangis Asa masih belum berhenti. Lek Sar pun
berinisiatif menggendong Asa dengan selendang. Tapi karena kemarahan dan
cemburu sudah menguasaiku, kularang niat Lek Sar. Kusuruh Lek Sar pergi ke luar
kamar. Lek Sar pun pergi. Sepertinya agak kecewa Lek Sar karena niat baiknya
kutepis dengan amat kasar. Setelah Lek Sar pergi, kucoba segala cara untuk
menenangkan Asa. Berhasil memang. Tapi suara lembut Tuhan terus berbicara dalam
hatiku.
“Seharusnya kamu tidak boleh
begitu, Mi,” kata-Nya. “Kasihan Lek Sar. Kamu harus membuang semua geram amarah
dan api cemburu yang tidak pada tempatnya itu! Ingat, kasih itu sabar. Kasih
itu tidak cemburu…” kurang lebihnya begitulah suara dalam hatiku berkata-kata
menyadarkanku.
Aku sadar aku tidak boleh marah,
tidak boleh cemburu pada Lek Sar. Aku tahu aku telah bersikap arogan dan
sombong. Mentang-mentang Lek Sar adalah PRT keluargaku, maka aku pun merasa
berhak memarahinya dengan sewenang-wenang. Dengan susah payah aku menenangkan
diriku kembali. Aku minta ampun pada Tuhan. Aku pun melepaskan pengampunan
untuk Lek Sar. Hari kemarin berakhir dengan kemenangan yang susah payah kurebut
kembali.
Puji Tuhan, hari ini aku kembali
berdamai dengan Lek Sar. Aku ingatkan diriku berkali-kali untuk tidak marah.
Kuusahakan diriku untuk bersikap baik dan ramah terhadap Lek Sar. Kubuang jauh-jauh
sikap angkuh dan aroganku kemarin. Sikap yang ketus dan galak kuganti dengan
sikap yang baik dan ramah. Puji Tuhan, berhasil! Tentu saja bukan dengan
kekuatanku sendiri, melainkan dengan kekuatan Roh Tuhan. Kesalahan hari kemarin
tidak kuulangi lagi. Ketika sudah selesai memandikan Asa, dengan bantuan Lek
Sar yang menyiapkan air, aku meminta Lek Sar untuk menjagai Asa sementara aku
pergi mandi sore. Dan sungguh luar biasa. Kesalahan tidak terulang. Asa banyak
tertawa. Kupotret ketika Asa sedang tertawa, dan kuunggah ke Facebook. Sangat
menghibur. Kubiarkan Lek Sar menggendong Asa sampai Asa tertidur. Aku tahu, ini
pun merupakan hiburan tersendiri bagi Lek Sar yang hidupnya tidak seberuntung
hidupku. Lek Sar pun kupersilahkan untuk pergi setelah meletakkan Asa di
boksnya. Desakan yang kuat tapi lembut dari Tuhan dalam hatiku menyuruhku untuk
mengucapkan terima kasih pada Les Sar. Aku pun taat.
“Matur nuwun…” kataku.
“Iyaaa…” jawab Lek Sar riang,
seolah tanpa beban.
Dan sisa hari ini pun berlalu
dengan penuh sukacita kemenangan. Haleluya!
Apa yang kupelajari dari
kejadian ini? Aku belajar untuk bersikap baik, sopan, dan ramah terhadap
orang-orang di bawahku. Tentu saja dengan tulus dan jujur. Seperti apa karakter
kita itu salah satunya ditentukan dengan
melihat bagaimana sikap kita terhadap orang-orang di bawah kita. Aku
belajar bahwa keseharian kita di rumahlah yang membentuk karakter dan perilaku
kita. Jika di rumah kita sudah terbiasa bersikap baik sesuai dengan kebenaran
firman Tuhan, maka di mana pun kita berada, kita akan membawa kebiasaan itu
pula. Termasuk di tempat kerja. Jika kita merasa diperlakukan sewenang-wenang
oleh atasan kita, mungkin kita perlu introspeksi diri, apakah sikap kita di
rumah juga seperti atasan kita yang kita nilai sewenang-wenang. Dengan berkaca
diri sedemikian rupa, maka niscaya terhindarlah kita dari sikap-sikap negatif
yag memperkeruh suasana di lingkungan kerja. Dengan pimpinan dan bimbingan dari
Roh Kudus, maka kita dimampukan untuk bersikap benar terhadap bawahan kita.
Terpujilah nama Tuhan!
(Rumah Kemuliaan TUHAN di Pelem Kecut, Rabu 19 Desember 2012)
Bapa yang baik,
Terima kasih untuk pelajaran-Mu
melalui interaksiku dengan Lek Sar. Terima kasih telah menegur dan mengajariku
secara lembut untuk bersikap sabar dan penuh kasih. Terima kasih untuk
kesabaran-Mu dalam mendidikku. Kiranya karakterku di rumah dapat terbentuk
semakin indah di mata-Mu. Berkati Lek Sar, Bapa. Kiranya Lek Sar pun beroleh
kesempayan untuk mengenal Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan juru selamatnya secara
pribadi.
Dalam nama Tuhan Yesus, haleluya.
Amin.
Komentar