HIkmah Belanja
Petang hari ini,
aku diajak menemani ibuku berbelanja barang-barang di Galeria Mal. Sebagai anak
yang baik (^^) dan untuk mempererat tali kasih dalam keluarga, aku memutuskan
untuk memenuhi ajakan ibuku itu. Kutetapkan dalam diriku untuk bersikap baik
dan manis selama perjalanan berbelanja itu. Aku yang tidak gemar belanja ini
bertekad bulat menemani ibuku yang gemar berbelanja sebagai sarana melepas
kepenatan dan kesuntukan hidup. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya. Pasti bosan
dan capek, tidak jenak, ingin segera selesai dan lekas pulang. Untuk mengatasi
kebosanan yang bakal melanda dengan pasti itu, aku mencoba untuk melakukan
sesuatu yang kreatif. Apakah itu? Ini dia ceritanya.
Karena aku tidak gemar
melihat-lihat barang-barang dagangan yang bakalan rusak dimakan ngengat dan
karat (baca: tidak awet), maka kualihkan perhatianku pada hal-hal lain.
Pertama-tama, kualihkan perhatianku pada fantasi imajinasiku. Kuimajinasikan
aku sedang mengawal ibuku dalam perjalanan penting, seperti petualangan saja.
Sambil membawa payung yang kubayangkan seperti tongkat atau pedang, aku
berjalan mengiringi ibuku sambil melihat-lihat ke sana ke mari, kalau-kalau ada
bahaya yang mengancam. Cukup seru juga kegiatanku ini. Ternyata, mengaktifkan
sisi kanak-kanak alias kreatif dalam diri itu asyik juga. Sangat menantang dan
mungkin perlu dilakukan sering-sering, terutama saat suntuk atau bosan di
tempat kerja. Di mana pun kita berada, entah di rumah, di kantor, atau di mana
saja, kita perlu untuk mengaktifkan sisi kreatif kita supaya tidak mudah bosan.
Bosan itu tidak menyenangkan, membuat kita lekas tua. Dengan berkreatif ria
itu, kita akan menghayati hidup seperti anak-anak yang kreatif, sehingga awet
mudalah jiwa kita. Bukankah demikian yang dianjurkan oleh Tuhan Yesus?
Anjuran-Nya adalah supaya kita melihat anak-anak kecil yang polos dan kreatif,
mudah terhanyut dengan imajinasinya, serta tidak mudah kuatir akan hari esok.
Bukankah merekalah yang empunya kerajaan Sorga?
Hal kedua yang kulakukan untuk
menghalau bosan adalah dengan memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang di
Galeria. Tentu saja dengan diam-diam, tidak kentara, supaya orang-orang yang
kuperhatikan itu tidak kehilangan kenyamanan mereka. Kuperhatikan dengan
seksama bagaimana mereka berpenampilan, bagaimana mereka berinteraksi satu sama
lain, dan bagaimana mereka berekspresi. Ada yang berpenampilan serba modis
lengkap dengan dandanan yang wah. Ada pula yang berpenampilan ala kadarnya saja
tanpa polesan make up sama sekali.
Aku pun berpikir, untuk apa ya mereka capek-capek berpenampilan semodis
mungkin? Apakah mereka berusaha tampil untuk mendapat pengakuan dari orang
lain? Demikian juga dengan yang merias muka mereka tebal-tebal. Jangan-jangan
ada yang coba mereka sembunyikan dengan riasan tebal itu, misalnya seperti rasa
tidak puas akan diri sendiri, rasa kesepian yang dalam, atau berbagai macam hal
menyedihkan lainnya. Dalam hatiku, terbersit rasa syukur karena aku tidak
ikut-ikut terjebak dalam arus yang mengedepankan penampilan dan kecantikan artificial
sebagai tolok ukur kebahagiaan. Lihat saja, aku ke Galeria jalan-jalan pun
hanya mengenakan kaos oblong, celana panjang, sandal jepit, dan tanpa polesan make up sedikit pun. Rasanya bebas dan
ringan, tidak ada beban, karena aku menjadi diriku sendiri. Puji Tuhan! Di
samping penampilan, aku melihat bagaimana para pengunjung bersikap terhadap
anggota keluarga yang menyertainya, entah itu anak, suami, istri, dll. Ada yang
bersikap santai dengan ekspresi gembira ria, ada juga yang bersikap tegang dengan
ekspresi yang cemberut. Sangat menyenangkan melihat ekspresi riang gembira yang
tampak dari cara para orang tua memperlakukan anak-anaknya. Mereka menyempatkan
diri untuk bermain dengan anak-anak mereka, bercanda tawa, dan membuat
anak-anak merasa nyaman. Mereka sadar bahwa anak-anak cepat merasa bosan jika
diajak berbelanja berlama-lama, apalagi jika hanya untuk memuaskan kegemaran
sang ibu melihat-lihat barang tanpa bermaksud untuk segera membelinya. Sungguh
gambaran yang indah dan menyenangkan tentang sebuah keluarga yang bahagia dan
sejahtera. Kebahagiaan yang sejati tidak diukur dengan banyaknya uang atau
barang yang mampu dimiliki melainkan dengan kasih, sukacita, dan damai
sejahtera yang tercurah secara penuh. Sebaliknya, sangatlah menyedihkan melihat
keluarga yang tidak mampu menunjukkan kasihnya ketika sedang berbelanja di
Galeria petang itu. Para ayah yang menunggu para ibu berbelanja dengan ekspresi
yang bosan, para ibu yang terlalu sibuk berbelanja sehingga mengabaikan anak
dan suami mereka, serta para anak yang berlarian ke sana ke mari sampai kadang
membahayakan diri sendiri. Belum lagi jika si anak melakukan kesalahan, maka
orang tua yang merasa malu akan segera menghukum anak dengan makian atau sikap
yang kasar. Sungguh pemandangan yang mengenaskan.
Hal ketiga yang tidak kalah
mengasyikkan untuk menghalau kebosananku adalah mendengarkan curahan hati ibuku
secara sepintas lalu. Dengan aktivitas berbelanja sebagai pengalih perhatian
dari beban hidup, ibuku bisa menyampaikan sedikit uneg-unegnya dengan lebih
bebas dan santai. Ibuku menyampaikan isi hatinya tentang keluarga kami, tentang
pekerjaan, dan hal-hal lain. Aku pun mendengarkannya dengan senang hati.
Sungguh luar biasa dan patutlah disyukuri segala kegiatan yang aku lakukan
bersama ibuku saat berjalan-jalan petang itu. Aku tidak berkomentar atau
menggerutu saat ibuku menghabiskan banyak uang untuk berbelanja barang-barang
yang sebenarnya tidak terlalu perlu saat ini. Aku memaklumi bahwa untuk saat
ini, ibuku memerlukan semacam katarsis bagi beban kehidupannya. Berbelanja
merupakan salah satu cara untuk katarsis itu. Sambil berbelanja itulah aku bisa
banyak mendengar dan belajar hal-hal penting. Berbelanja memang bukan
kegemaranku, tetapi mendengar adalah karunia Tuhan yang ada padaku. Dengan
mendengar, aku bisa tahu lebih banyak. Dengan tahu lebih banyak, aku bisa lebih
mengerti dan lebih bijak dalam bersikap.
Saat akan mengakhiri kegiatan
belanja, sayup-sayup terdengar sekelompok anak muda menyanyikan lagu-lagu
Natal. Suara merdu mereka membuatku semakin bersuka hati. Aku pun membagikan
kesukacitaanku itu kepada ibu yang sedang mengantri di kasir. Ibuku pun senang
dan ikut menikmati alunan lagu yang merdu itu. Suasana Natal kian terasa.
Lagu-lagu penuh pengharapan dan sukacita itu sanggup membuat kami bersukacita
merasakan pengharapan akan datangnya Sang Mesias. Ya, Natal akan segera tiba
kembali. Yesus Kristus yang sudah datang dulu sebagai bayi manusia kini akan
segera datang lagi. Saatnya menantikan kedatangan-Nya yang kedu kali itu dengan
penuh kerinduan. Maranatha!
(Rumah Kemuliaan TUHAN di Pelem Kecut, Sabtu 15 Desember 2012)
Bapa yang baik,
Terima kasih untuk kebersamaan yang
kurasakan bersama ibuku ini. Terima kasih untuk kesempatan menemaninya belanja,
meskipun aku tidak terlalu gemar dengan berbelanja. Yang aku sukai adalah aku
bisa saling berbagi dengan hati yang terbuka bersama ibuku. Kiranya tali kasih
di antara kami dapat terjalin semakin erat dan indah di dalam-Mu. Aku juga
berdoa bagi para ibu-ibu atau kaum perempuan yang gemar berbelanja dan
menjadikan aktivitas berbelanja ini sebagai bentuk rekreasinya. Kiranya mereka
dapat memperoleh penghiburan dari kepenatan, kejenuhan, dan kesesakan hidup
masing-masing. Terlebih lagi, kiranya mereka dapat menemukan kelegaan yang
sejati di dalam-Mu.
Dalam nama Tuhan Yesus, aku berdoa.
Helaleluya.
Amin.
Komentar