Bab 21-- Bukan Hanya Masalah Kata-Kata

Gerimis sore itu turun seperti biasa. Pelan dan konsisten. Di ruang tamu rumah kecil mereka, aroma kopi hitam mengambang samar, bersaing dengan harum kertas dan tinta printer.

Rio duduk bersila di lantai, laptop di pangkuan, alisnya bertaut. Sementara Nia duduk di ujung sofa, membolak-balik draft makalah tebal yang halaman depannya bertuliskan:

“Koreksi Terhadap Pokok Ajaran Gereja Lokal:
Doktrin Keselamatan dan Tritunggal — Sebuah Telaah Alkitabiah dan Teologis”
Oleh: Satrio & Karunia

"Nia," suara Rio tenang, "bagian ini aku tambah kutipan Titus 1:9. Supaya jelas. Ajaran sehat itu bukan opsional."

Nia menengok, senyumnya tipis, matanya jernih meski lelah. "Bagus. Tapi di paragraf terakhir, kita ganti nada kalimatnya ya. Jangan terlalu menyerang."

Rio mengangguk ringan. "Kamu pikir aku terlalu keras?"

"Bukan keras. Tegas, iya. Tapi kita juga harus jaga hati mereka terbuka. Biar mereka tahu: kita kritik bukan karena benci, tapi karena sayang."

Ia tahu. Nia bukan sedang melembek. Ia hanya sedang menyalurkan idealismenya dengan cara INFJ: damai, tapi tidak kompromi. Teguh, tapi tetap ingin menyentuh hati.

"Ya. Kamu benar." Rio mengetik ulang. "Kamu selalu tahu caranya bikin kebenaran terasa hidup."

Satu jam berlalu. Dua cangkir kopi dingin. Draft terakhir selesai. Enam puluh tiga halaman. Disusun rapi. Dikirim via email ke seluruh anggota majelis gereja.

Dan mereka menunggu.


Dua minggu kemudian, yang datang bukan diskusi terbuka. Tapi panggilan informal dari klasis. Isinya jelas: “Makalah ini terlalu provokatif. Tidak sopan. Mengganggu ketertiban jemaat.”

"Mereka tidak bahas isinya, Rio," kata Nia lirih sambil melipat surat tanggapan klasis.

Rio hanya diam. Mata tajamnya menatap jendela. Di luar, hujan masih turun. Tapi kali ini terasa dingin.

"Bukannya mendalami ajaran yang kita angkat... mereka malah menuduh kita kurang hormat," lanjut Nia pelan.

Rio menarik napas. "Mereka anggap wibawa pendeta lebih penting daripada keakuratan ajaran."

"Kita mau terus, Rio?" tanya Nia sambil memegang tangan suaminya. Jemarinya hangat.

"Kita bisa kehilangan tempat. Tapi jangan kehilangan terang," jawab Rio, suara datar tapi mantap.


Malam itu, mereka menyalakan laptop. Membuat rekaman video pertama mereka: penjelasan sederhana tentang keselamatan yang kekal dalam Kristus dan keesaan Allah dalam tiga Pribadi.

“Kalau gereja lokal menolak diskusi terbuka, mungkin waktunya kita buka ruang itu di tempat lain,” kata Nia sambil mengatur pencahayaan.

Rio tersenyum tipis. “Kebenaran nggak pernah butuh panggung besar. Dia hanya butuh satu suara yang setia.”

Dan mereka mulai bicara.

Untuk mereka yang belum tahu.
Untuk mereka yang mulai bertanya.
Untuk mereka yang, seperti Rio dan Nia, tidak bisa diam ketika kebenaran ditukar demi kenyamanan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.

Highlight Obrolan: Isu Kesehatan Mental