Tanah Kudus: Saat Aku Menerima Diriku Sendiri

Oleh: Yohana Mimi

Aku memulai dengan pertanyaan sederhana:
Bagaimana kami, tiga pribadi dengan warna kepribadian yang berbeda—INFJ-A, ISTP-A, dan ENFP—dapat berjalan bersama dalam satu rumah?

Jawabannya datang bukan lewat teori, tapi melalui kisah-kisah kecil yang kami hidupi setiap hari. Dari obrolan ringan sambil nonton drama Korea, hingga diskusi teologis yang memanas. Dari tawa anakku saat aku memainkan Moonlight Sonata, sampai diam-diam ia menyanyi sendiri di kamar sambil joget. Dari kesetiaan suamiku yang tak banyak bicara, tapi selalu hadir—hingga mimpi bersama untuk menegakkan ajaran yang benar di gereja kami.

Kami menamai rumah ini: Rumah Cahaya.
Karena kami sadar, kami hidup bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk menyinari. Bukan hanya untuk mencintai, tapi untuk menjaga kebenaran.
Mercusuar itu menyala bukan karena sempurna, melainkan karena dinyalakan oleh anugerah.

Anugerah Itu Bernama Aku

Perjalanan ini bukan tanpa luka.
Aku, seorang dokter, pemimpin, dosen, dan penulis—adalah juga seorang perempuan dengan riwayat bipolar disorder.
Gejala pertama muncul tahun 2002.
Pemulihan bukan jalan lurus, melainkan jalan panjang penuh kerikil tajam, air mata, keheningan, dan keajaiban yang sering datang tanpa suara.

Tapi Tuhan tidak pernah membuangku. Dia memeluk setiap pecahan hidupku seperti kintsugi—seni memperbaiki keramik pecah dengan emas. Lukaku tidak disembunyikan, tapi dijadikan keindahan.

Kini, setelah lebih dari dua tahun stabil dan dalam pengobatan rutin, aku melihat satu hal dengan jernih:
Diriku sendiri bukan cacat, tapi anugerah.
Semuanya—dari trauma masa kecil, kecintaanku pada buku dan bunga matahari, interaksi acak dengan ibuku lewat telepon, hingga obrolan gibah teologis dengan suami—telah dipakai Tuhan membentukku. Persis seperti yang dikatakan firman-Nya:

“Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang…”
(1 Korintus 15:10)

Dan di momen kudus itu—saat menulis, merenung, dan merasa merinding—aku tahu… aku tidak hanya menyadari,
aku menerima.
Aku menerima Yohana Mimi.
Nama yang artinya anugerah terindah.
Bukan karena prestasi atau peran, tapi karena Dia yang memberiku nama itu—Tuhanku.

Dipulihkan untuk Memulihkan

Aku tidak lagi ingin hidup demi diriku sendiri. Aku tidak ingin terjebak dalam narsisme rohani.
Karena aku percaya: Semakin kita mengenal diri, semakin kita mengenal Dia.
Dan semakin kita mengenal Dia, semakin hati kita terbakar untuk berbagi terang-Nya.

Itulah mengapa aku menulis. Itulah mengapa aku ingin buku ini jadi. Bahkan mungkin kelak menjadi film.
Karena kisah ini bukan hanya tentang kami. Ini tentang zaman yang haus cahaya.
Tentang keluarga-keluarga yang rindu berdiri teguh di tengah badai relativisme, kesesatan, dan kebingungan zaman.
Tentang panggilan untuk menjadi mercusuar:
Menara yang tetap menyala, sekalipun diterpa angin dan gelombang.

Mercusuar Itu Bernama Rumah Cahaya

Aku, suamiku, dan anakku—adalah manusia biasa.
Kami hanya memiliki satu hal yang tidak bisa dipalsukan:
Kebenaran yang membebaskan, dan kasih yang menyalakan.

Kami Calvinis sejati. Kami percaya pada kedaulatan Allah, dan juga pada tanggung jawab manusia.
Kami tidak sempurna. Tapi kami tahu siapa yang memanggil.
Dan kami siap menjawab panggilan itu, bersama-sama, dalam terang-Nya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa bagi Kota Tercinta

Yehova Zebaoth, TUHAN semesta alam.

Highlight Obrolan: Isu Kesehatan Mental