Bab 22 — Sumunar
Angin malam membawa bau tanah basah masuk dari jendela yang terbuka setengah. Di meja ruang tengah, papan catur terbentang. Rio duduk dengan tangan bersilang, memperhatikan bidak-bidak seakan mereka sedang berdiskusi diam-diam tentang strategi.
“Masih mikirin respon klasis?” tanya Nia, sambil menyetel piano elektriknya yang baru saja digeser ke dekat meja kerja.
Rio mengangguk, lalu menggerakkan pion ke depan dua langkah. “Bukan cuma respon mereka. Aku mikirin: kalau kita nggak bisa bersuara lewat saluran resmi... apa kita cukup berani bikin saluran sendiri?”
Nia menoleh. “Saluran? Maksudmu… YouTube?”
Rio menatap papan catur, lalu menatap istrinya. “Iya. Aku kepikiran buat channel. Kita kasih nama Sumunar.”
Nia mengernyit kecil. “Sumunar? Bahasa Jawa ya?”
“Artinya… bercahaya,” jawab Rio pelan. “Itu doa kita kan? Supaya terang kebenaran bisa tetap menyala, walaupun tempatnya gelap.”
Nia tersenyum pelan. Ia memencet beberapa tuts. Nada-nada lembut mengalun. “Aku suka namanya,” katanya. “Dan aku percaya, waktu terang disampaikan dengan kasih, dia bukan cuma menyinari, tapi juga menghangatkan.”
Tiga malam kemudian, mereka mulai menyusun format. Rio dengan ketelitian khas ISTP-nya, menyusun skema episode awal:
-
Mengapa Keselamatan Tidak Bisa Hilang
-
Tritunggal: Tiga Pribadi, Satu Hakikat
-
Apakah Gereja Kita Masih Calvinis?
-
Belajar Membaca Alkitab dengan Konteks
-
Dialog: Antara Tradisi dan Kebenaran
“Aku juga kepikiran,” kata Nia sambil membuat teh, “selipkan bagian musik. Mungkin aku mainin lagu-lagu pujian yang liriknya kuat secara teologis. Kita bisa bahas makna liriknya.”
Rio tertawa kecil. “Channel doktrin rasa senja?”
Nia nyengir. “Kenapa nggak?”
Rio membuka laptop, mulai mengutak-atik kanal YouTube baru itu. “Kita bikin bukan buat cari pengikut. Tapi buat jadi saksi. Kalau nanti ada orang yang cari jawaban, setidaknya mereka bisa nemu bahan renungan yang Alkitabiah.”
“Dan kalau pun nggak banyak yang lihat,” sambung Nia, “kita tetap melakukan bagian kita.”
Rio menatap papan catur di dekatnya. “Kayak catur. Nggak semua bidak punya langkah yang spektakuler. Tapi semua punya posisi yang berarti.”
Nia duduk di sebelahnya. “Dan kadang... kemenangan dimulai dari gerakan kecil yang nyaris nggak terlihat.”
Malam itu mereka berdoa, lalu merekam video pertama. Nia menyisipkan pembuka piano singkat, lalu Rio bicara—pelan, jelas, logis.
"Shalom. Kami Rio dan Nia. Di kanal ini, kami mau berbagi... bukan untuk menyerang, tapi untuk menolong siapa saja yang sedang mencari kebenaran firman Tuhan—tentang keselamatan, tentang Tritunggal, dan tentang terang yang sejati, yang tak pernah padam."
Dan Sumunar pun menyala.
Komentar